16.12.08

Budak Malam

Sudah beberapa kali saat pulang larut dari ibukota, kami menjumpai sekeluarga pengamen di dalam bis AKAP. Mereka terdiri dari bapak, ibu, dan tiga orang anak yang masih balita.

Lihatlah sang bapak, bertugas menyanyi sambil menggendong si anak tengah. Suaranya tiada merdu pun tubuhnya layu. Gitar tua tak ubahnya istri muda yang lebih berkurva, mendawaikan nada sumbang namun lebih berima.

Lihatlah sang ibu, bertugas mengumpulkan tips hasil ngamen sang bapak. Si sulung yang rewel digandengnya, sementara si bayi terlelap dalam gendongan. Saya yakin susu sang ibu sudah kerontang. Mungkin si bayi pura-pura tidur agar tidak dipaksa menetek puting yang kering.

Lalu balon-balon percakapan pun muncul mewadahi imajinasi kami yang melebihi kuota. Tentang mengapa mereka sekeluarga masih mencari nafkah sampai selarut ini.


"Homeless. Mungkin masih menumpang tidur di suatu tempat, di warung bubur kacang ijo misalnya. Dan mereka baru bisa datang setelah warung itu tutup, mungkin selepas tengah malam. Dan esok sebelum warung buka, mereka sudah harus kembali mencari nafkah di jalan. Sekeluarga."


"Gak lah, sepertinya lebih ke krisis kepercayaan. Mereka mungkin sudah punya rumah walau cuma gubuk derita. Sang istri cuma kuatir jikalau suaminya menggunakan uang hasil ngamen untuk mabuk atau apalah. Mungkin dulu pernah kejadian begitu, makanya kini sang istri berkeras untuk ikut ngamen, sekalian bawa anak-anak biar memancing belas kasihan."


Dan kami memang iba.

Sudah hampir tengah malam ketika bis yang kami tumpangi mendekati tujuan. Balon-balon kami tadi pun sudah mengawang entah kemana. Kami tak peduli. Yang ada di benak hanya istirahat di ranjang empuk dan nyaman.

Entah bagaimana keluarga pengamen itu menyudahi harinya.


*gambar diunduh di sini

1.12.08

Curhat Tingkat Tinggi

Tahukah anda, Presiden Rusia tengah dalam kemelut. Hati nuraninya tercabik antara kepentingan negara dan perdamaian dunia. Sebuah keputusan penting harus diambil, dan baru kali ini beliau sungguh mati langkah.

Di tengah kegalauannya, beliau menghubungi sebuah nomor telepon ke negeri seberang nun jauh di sana.

"Halo?" terdengar sahutan.

Presiden tersenyum lega. "Halo, boleh kuminta saranmu? Seperti kau tahu, menteri pertahanan sudah siap menginvasi pulau yang baru ditemukan di Segitiga Bermuda. Memang pulau ini akan menjadi tambang emas hitam yang sangat berharga bagi kami, namun di sisi lain saya pribadi tidak mau menyulut pertikaian dengan dunia barat, apalagi sampai memicu World War III. Menurutmu bagaimana? Please help me out!"

Hening sejenak.
"Listen to your heart. When there's nothing else you can do, listen to your heart."

Presiden termenung, menyesapi kalimat bijak itu dalam benaknya. Sebuah senyum lega tersungging di wajahnya. "Ah, terima kasih!"

Hubungan telepon pun ditutup.

Aku meletakkan ponsel dengan jumawa. Tak menyangka jika beliau berkenan curhat padaku. Lega karena kini kutahu presiden Rusia sudah menemukan jawabnya.

Sungguh mimpi yang aneh.