25.11.10

Hobbit & Guru-Gurunya

Kali pertama masuk SD saya disambut oleh sosok seorang guru yang tampak ramah dan keibuan.  Ibu Mei namanya.  Berwajah bulat, berkacamata, berambut ikal keemasan.  Saya sudah samar akan detail wajahnya, tapi yang tak pernah lekang dalam ingatan adalah air mukanya yang selalu berbinar.  Jika saya hobbit, maka bu Mei adalah Galadriel, ratu peri penguasa Lothlórien.  Ia memberi saya bekal cahaya bintang Earendil yang kelak menerangi perjalanan hidup saya selanjutnya.  Bekal itu berwujud kemampuan membaca & berhitung.  Ia yang memberi saya tuntunan belajar mengenali deret huruf dan angka.  Dengan kuasanya, ia memberi saya naungan di dalam ruang kelas yang teduh oleh rimbun pohon durian & nangka.  Kami selalu betah menghabiskan jam pelajaran disana, bersamanya.





Tahun terakhir di SD saya terkagum pada guru agama merangkap wali kelas kami.  Pak Hidayat namanya.  Bagi saya yang sekecil hobbit, ia adalah Gandalf si jangkung.  Beliau adalah mentor rohani kami sekelas, humoris, namun juga tegas.  Jangan bayangkan pak Hidayat sebagai aki-aki bersurban dan berjanggut putih, salah besar.  Ia adalah seorang bapak muda, masih gagah, berwajah klimis dengan rambut yang selalu rapi dan licin berminyak, serta gemar berpakaian safari full-pressed-body.  Tulisan tangannya indah, dan beliau selalu kebagian tugas sebagai juru tulis untuk piagam-piagam kenaikan kelas di sekolah kami.

Usai jam pelajaran sekolah, pak Hidayat selalu mengadakan kuis, siapapun yang bisa menjawab di depan kelas maka murid-murid yang duduk sebaris dengannya boleh meninggalkan kelas terlebih dahulu.  Kuisnya pun acak dari semua mata pelajaran, sehingga mau tak mau membuat kami harus selalu siap dengan materi yang sekiranya akan ditanyakan.  

Lantas apakah kami bisa langsung pulang?  Hohoho, tergantung jadwal piket kebersihannya.  Jika di kelas lain jadwal bebersih cuma dilakukan sekedarnya di pagi hari, maka pak Hidayat menyuruh kami bertugas dua kali, sebelum dan seusai jam sekolah.  Bukan cuma sapu-sapu, tapi juga termasuk mengepel lantai, membersihkan meja, kursi, jendela, dan papan tulis, mengganti air minum, mencuci taplak meja, serta mengisi vas dengan bunga segar setiap hari.  Bunganya cukup dipetik dari pekarangan sekolah.  Hasilnya suasana kelas kami selalu apik resik, semarak oleh harum bunga.  Lantai kelas kami bersih dan licin karena selalu di-pel dua kali sehari, bahkan untuk duduk atau tidur-tiduran pun terasa nyaman.  Tanpa disuruh, akhirnya menjadi adat kebiasaan kami untuk selalu membuka sepatu sebelum masuk kelas.

Kedisiplinan beliau sungguhlah menjadi suri tauladan bagi kami dan seisi penghuni sekolah.





Selulus SD, kami semua menangis karena harus meninggalkan pak Hidayat.





Di tahun pertama SMP, kami menangis lagi karena pak Hidayat-lah yang meninggalkan kami.  Ia pergi untuk selamanya.  

Pahlawan kami, Gandalf, telah tiada, jatuh ke dalam kegelapan tak berujung Moria.  Meskipun ada berita tak sedap berhembus (bahwa pak Hidayat ketahuan berselingkuh, lalu bertengkar dengan istrinya, lalu beliau pergi diiringi sumpah serapah istrinya agar 'mati saja kau sekalian!', lalu beliau pun mendapat kecelakaan lalu lintas), namun bagi kami, khususnya saya, pak Hidayat adalah sosok guru idola sepanjang masa.





Duduk di bangku SMP, kami harus beradaptasi dengan guru berbeda untuk tiap mata pelajaran, dan berjuang dengan perubahan kimiawi tubuh.  Ketertarikan pada guru mulai terpengaruh oleh hormon.  Guru praktek yang masih muda terasa lebih menarik dibandingkan pengajar tetap yang rata-rata sudah berumur.

Di sini pula saya mulai mengenal bermusuhan dengan guru.  Sebut saja namanya ibu Janda Hitam, beliau mengajar PKK.  Setiap tiba jam pelajaranya, keringat dingin saya selalu mengucur.  Saya lupa pemicunya, tapi yang jelas ia selalu nyinyir sama saya, tatapan mata, air muka, serta kata-kata yang terlontar dari mulutnya sungguhlah racun yang mematikan.  Ia tak ubahnya Shelob, laba-laba raksasa penghuni Cirith Ungol yang nyaris membinasakan Frodo dengan perangkapnya.  Untunglah beliau cuma mengajar PKK, sehingga saya tak terlalu memusingkan jika ia menekan nilai saya di rapor.

Tak ada yang spesifik menjadi guru favorit saya selama SMP, yang paling mendekati mungkin ibu Tuti, pengajar bahasa Inggris.  Karena beliaulah saya jadi menyukai bahasa Inggris, dan Alhamdulillah ilmunya tetap terpakai sampai sekarang.  
Ibarat kata, beliau adalah sosok ibu perinya Cinderella yang menembus dimensi hingga Cirith Ungol untuk menyelamatkan sang hobbit yang terperangkap.

Guru-guru yang lain cuma mengambil hati saya secara sambil lalu saja.  Pak Adang, guru olahraga, ibarat Gimli dengan kapaknya.  Pendek dan galak.  Kami sekelas pernah digampar satu-satu olehnya.  Tapi saya tidak membencinya, malah salut dengan ketegasannya.  Ada pula ibu Kristin, guru paling bawel seantero jagat.  Beliau selalu memulai pelajaran bahasa
Indonesianya dengan memberikan panduan singkat: 'duduk yang tegak-buka halaman buku tanpa suara-dilarang memainkan pulpen-jangan ini-jangan itu-dilarang ini-dilarang itu-bla bla bla'.  Semua diucapkan dengan kecepatan & ketepatan artikulasi mulut seorang rapper handal.  Ia adalah Lil' Kim di Shire.  Dicerca namun dicari.





Tanpa diduga, Gandalf muncul kembali!  Kabar itu muncul begitu mengejutkan: pagi itu pak Hidayat muncul di gerbang SD kami, memperhatikan murid-murid yang tengah senam pagi.  Konon mukanya terlihat bersih dan pakaian safarinya tampak licin berkilau.  Ia tersenyum lebar.  Lalu kemudian menghilang.  Saksinya adalah seisi sekolahan yang tengah berada di halaman!

Kami, mantan muridnya yang sudah SMP, tentu saja tidak dapat menyaksikan kejadian tsb.  Antara percaya tak percaya, namun hal itu kemudian sempat lama menjadi bahan perbincangan kami.  Harap kami semoga saja arwah beliau tenang di sisiNya.  

Amin.





Masuk SMA, saya langsung mendapatkan wali kelas yang muda-cantik-perawan dan berbudi pekerti luhur.  Ibu Erna namanya, pengajar matematika.  Wajahnya terlihat segar dengan bibir merekah dan mata besar, berambut ikal sebahu, berkacamata, dan bersuara merdu bak buluh perindu.  Ia adalah Lady Arwen, peri jelita pemikat hati Aragorn, atau bagi siapapun yang pernah menjumpanya (terutama kami hobbit-hobbit muda canggung berjerawat).  Tindak tanduk beliau yang santun dan terpelajar membuat kami tak berani berbuat kurang ajar kepadanya.

Tahun kedua di SMA, asa kami pupus sudah ketika Lady Arwen akhirnya menerima lamaran Aragorn.  Ia kan menyerahkan 'mahkota'-nya kepada lelaki brewok itu.  Saya ingat hari itu adalah hari patah hati sedunia bagi hobbit-hobbit di sekolah kami.  Hingga seminggu kemudian mading pun selalu penuh dengan puisi menye-menye.





Di masa ini, saya pun mulai mengenal cinta terlarang di sekitar saya.  Cinta antara murid dan guru (klise-lah, akhirnya selalu bisa ditebak).  Ada pula cinta antara guru dan guru, yang kebetulan berbeda keyakinan.  Pak guru mengaji, dan bu guru kebaktian.  Keduanya saling jatuh cinta, namun tetap teguh kukuh dengan keyakinan masing-masing.  Bahkan kabarnya hingga kini keduanya masih menjalin kasih, tanpa melanjutkan ke jenjang pernikahan.  Do you think it's a sad story or the opposite?





Ibu Elin bisa dibilang salah satu guru yang tegas dan berani.  Jika guru biologi enggan membawa contoh peraga untuk bab reproduksi manusia, maka sebagai guru Pancasila bu Elin tak sungkan membawa contoh alat-alat kontrasepsi, termasuk di antaranya spiral dan kondom.  Beliau juga membawa alat peraga (lupa namanya) yang digunakan dengan cara memasukannya ke vagina, lalu tugasnya mengobok-obok sesuatu disana.  Belum pernah ada pelajaran Pancasila semenarik ini!

Dan cuma ibu Elin seorang yang memanggil saya dengan nama belakang.  Sungguh, itu sanjungan bagi saya, mengingat saat itu saya adalah hobbit kutu buku yang tidak populer dan belum tentu semua guru mengetahui nama lengkap saya.  Dan sebagai komplimen, saya anggap ibu Elin sebagai titisan Legolas, si jago panah bak Srikandi yang selalu siap mengawasi & melindungi.  Hahaha, cuma Legolas yang ini perempuan mungil, berkerudung, dan berlogat Sunda Bogor!  Bu Elin, saya kangen!





Selamat Hari Guru!





*salim*

3.11.10

Perempuan Gerhana

katakan padaku, Bu
apa rasanya terlupa oleh anakmu
kala tubuhmu bungkuk layu
berbagi hadirmu tiada yang mau


kerap mulutmu komat-kamit, Bu
berharap mendaras doa suci
namun hanya terlontar caci maki
mendengar racaumu tiada yang sudi


matamu telah keruh, Bu
lakonmu di masa lalu terbiaskan
bersemayam di bawah tumpukan jarik lusuh
bayang-bayang suami yang telah lama mati


*****


katakan padaku, Nak
apa rasanya terlupa oleh ibumu
kala mulutmu mendamba puting susu
namun hanya asin tajin yang diulurkan tangan renta nenekmu


sesap gundahmu, Nak
meski harus mengais remah jatuh
walau mengiba tak kurangi siksa
dalam peluk, ibumu tak pernah ada


apakah terbersit dalam jiwa, Nak
kala dewasa beranjak dan tiba masa kau berkibas
namun hadirnya di hadapmu bagai gerhana tak usai
memekatkan mata dan kau harus panggil ia 'ibu'


*****


mendung pekat bak gerhana 3 Nov 2010
© duabadai.multiply.com