30.12.12

Salt Print Workshop


Salt print adalah salah satu teknik mencetak foto/gambar di atas kertas yang sudah digunakan sejak tahun 1841.  Disebut salt print karena dalam proses pencetakannya banyak menggunakan larutan garam (sodium citrate, sodium chloride, sodium thiosulfate, you name it).

Workshop yang dihelat pada Sabtu mendung 29 Des 2012 ini seakan membawa saya kembali ke masa silam ketika gambar-gambar yang tercetak hanya dalam nuansa duotone.  Butuh kecermatan dan kreativitas.  Saya paling suka proses dalam ruang gelap karena melibatkan larutan silver nitrate.  Jika kulit kita terpercik larutan ini maka akan meninggalkan bercak noda kehitaman yang takkan hilang oleh apapun, kecuali ganti kulit.  Menegangkan!  Menyenangkan!

For more detail about salt print technique please click h e r e 

Credits:
Anton Ismael
Bartian Rachmat
Kelas Pagi Jakarta
Third Eye Space, Jakarta


welcome to Third Eye

meraciklah dengan cermat dan tepat

kertas pun berangin-angin usai berendam dalam larutan perekat

kertas basah, kertas lembab, kertas nyaris kering, semua tampak sama

print negatif dalam bidang kaca siap dioles larutan silver nitrate dalam kamar gelap

usai ditempa matahari, air, dan larutan fixer, saatnya berangin-angin kembali

are we finished yet?

proses terakhir

hair dryer would do

my work ;)

7.12.12

'Menanti Izrail' In Supernatural



Masih ingat dengan kisah nyata seekor anjing terbuang seperti yang pernah saya tulis dalam [Xenophobia] Monster?

Kisah tsb terjadi beberapa tahun silam, dan membekas sangat dalam benak sehingga akhirnya mengilhami saya dalam menulis cerita berjudul Menanti Izrail.  Tentang seekor anjing yang diharamkan berada di lingkungan sekitar dan akhirnya 'tangan sedingin malaikat maut' yang menyelamatkan (sesuatu yang saya sukai karena dalam kegaiban kau tak bisa mematri apakah A begini apakah B begitu dll dsb).

Menanti Izrail pun masuk dalam antologi Supernatural dimana e-novelette-nya sudah bisa diunduh di website Hermesian.  Sila menikmati!


^^

25.11.12

Hidayah Pak Hidayat


Apa rasanya jika guru kesayangan kita wafat dengan kabar miring mengiringi kepergiannya?  Tentu menyakitkan.

Hari itu (lebih dari satu dekade lalu) kami berkumpul di salah satu sudut kelas, sebagian menangis.  Gedung sekolah ini masih asing bagi kami, anak-anak angkatan baru di sebuah SMP negeri.  Kami yang tengah berkabung di sini adalah alumni sebuah sekolah dasar yang sama, dan baru saja mendengar kabar wafatnya guru SD kesayangan kami karena kecelakaan lalu lintas.

Salah satu teman kami, Ningsih, bahkan sudah bengkak matanya, padahal pipinya sendiri sudah tembam.  Tapi ia masih bisa bercerita jika pak Hidayat (demikian nama guru kesayangan kami) mendapat kecelakaan seusai bertengkar dengan istrinya.  Konon ada pihak ketiga yang mengganggu keharmonisan rumah tangga mereka.

Saya tak kuasa menangis, air mata saya tiada, tapi di dalam hati saya ada rasa nyeri tak terperi.  Pedih.  Kami hanyalah anak-anak lugu yang baru beranjak remaja (bahkan saya sendiri belum mengalami pubertas pada saat itu).  Tak heran jika kejadian tsb sungguh mampu membuat perasaan kami terguncang.

Rasa sedih kami mungkin berlipat ganda.  Satu, kehilangan sosok idola.  Dua, kehilangan keidolaan pada sosok tersebut (di mata kami pada saat itu pak Hidayat adalah seorang yang sempurna tanpa cela).  Dan terakhir, kejadian ini membuat kami semakin merasa kehilangan saat-saat indah semasa sekolah dasar dulu (sungguh kami benci dan belum terbiasa dengan suasana di SMP ini).

Mari kembali ke masa sekolah dasar.  Gedung sekolah kami terletak di samping kebun lebat berpohon durian dan nangka dan bersarang semut rangrang.  Jika tiba musim buah, kami harus waspada akan ketiban durian atau nangka, dalam arti sebenarnya.  Pernah salah seorang adik kelas jatuh pingsan ketika sebuah nangka besar jatuh dari pohon, menembus genting dan plafon sekolah dengan suara BRAAAK, lalu menimpa dirinya yang tak sempat menghindar.

Tapi peristiwa nahas itu cuma terjadi sekali, dan selebihnya kami malah lebih sering mengambil keuntungan dari buah-buahan yang matang di kebun sebelah.  Pemilik kebun ini adalah salah seorang penduduk setempat, dan beliau selalu bermurah hati membagi hasil kebunnya dengan kami.

Pak Hidayat adalah wali kelas enam, dan inilah keberuntungan yang sesungguhnya karena kami bisa berada di bawah asuhan beliau.

Kekaguman saya pada beliau sudah terpateri sejak saya mendapat piagam penghargaan setiap kenaikan kelas.  Tiap lembar piagam ditulis tangan dengan indah olehnya sendiri.  Tulisannya bak seni kaligrafi.

Salah satu inspirasi paling dini yang saya dapatkan dari beliau adalah bagaimana mendapatkan tulisan tangan yang setidaknya bisa dibilang bagus.  Saya paling rajin berlatih dengan buku menulis halus, dan walaupun kemudian tulisan tangan saya tak seindah tulisan pak Hidayat yang berukir-ukir, tapi setidaknya tulisan tangan saya semasa sekolah jauh lebih bagus dari masa sekarang.  Terbukti saya selalu ditunjuk menjadi sekretaris kelas dari SD hingga kuliah (walaupun terkadang saya enggan karena sering diledek, “Sekretaris kok tak pakai rok mini?”).

Selain wali kelas enam, pak Hidayat adalah juga guru agama (mungkin sedikit banyak beliau belajar ilmu kaligrafi berkat profesinya ini).  Pak Hidayat adalah mentor rohani kami sekelas dan sesekolah.  Jangan bayangkan beliau sebagai kakek-kakek bersurban dan berjanggut putih, salah besar.  Ia adalah seorang bapak muda yang gagah, berwajah klimis dengan rambut yang selalu licin berminyak, serta gemar mengenakan setelan safari full-pressed-body.  Pembawaannya riang dan humoris, namun juga tegas.

Usai jam pelajaran sekolah, pak Hidayat selalu mengadakan kuis.  Ia akan melontarkan sebuah pertanyaan (yang membutuhkan jawaban panjang atau detail), lalu siapapun yang mengacungkan tangan terlebih dahulu dipersilakan menjawab pertanyaan tsb di depan kelas.  Jika sang murid bisa menjawabnya dengan tepat, maka murid-murid lain yang duduk satu lajur dengannya boleh meninggalkan kelas terlebih dahulu.  Dan jika sang murid mendapat kesulitan dalam menjawab pertanyaan, maka murid-murid yang duduk satu lajur dengannya diperbolehkan membantu.

Saya masih ingat ketika kuis ini perdana digelar, sayalah yang mendapat kesempatan pertama maju ke depan kelas.  Pertanyannya mudah saja: sebutkan masing-masing hasil perkalian 1 sampai dengan 10.

1 x 1 = 1, 1 x 2 = 2, dst saya ucapkan dengan lantang.  Setelah 1 x 10 = 10 saya berhenti lalu melirik pak Hidayat.

Beliau tertawa lalu bilang, “Teruskan ke perkalian 2, lanjut hingga perkalian 10.”

Oh, saya kira sudah selesai, ternyata masih banyak hasil perkalian yang harus diucapkan.  Beruntung saya sudah hafal.  Tanpa ragu saya kembali mengucapkan hasil perkalian dengan lantang.

Memasuki perkalian 7 ke atas mulut saya sudah kering sehingga beberapa kali ucapan saya tersendat.  Pak Hidayat tertawa melihat saya acap kali menelan ludah untuk melumasi tenggorokan.  Mungkin dikiranya saya bakal menyerah, tapi tak akan.

Pada akhirnya saya berhasil menunaikan tugas dengan sempurna.  Gegap gempita seisi kelas merayakan keberhasilan tugas perdana ini, dan saya nyaris merasa bagaikan pahlawan yang sedang dielu-elukan.

Kuis seperti ini selalu diadakan setiap hari, materi pertanyaannya pun acak dari semua mata pelajaran, sehingga mau tak mau membuat kami harus selalu siap sedia setiap saat.  Kami jadi lebih giat belajar, jauh lebih tekun dibandingkan semasa kelas satu hingga kelas lima dahulu.

Lantas apakah setelah kuis maka kami bisa langsung pulang?

Jangan senang dulu, tergantung jadwal piket kebersihannya.  Jika di kelas lain jadwal piket cuma dilakukan sekedarnya di pagi hari, maka pak Hidayat menyuruh kami kelas enam bertugas piket dua kali dalam sehari, yakni sebelum dan seusai jam sekolah.

Jika biasanya tugas piket hanya terdiri atas menyapu kelas dan membersihkan papan tulis, maka di bawah pengawasan pak Hidayat deretan tugas kami bertambah.  Meja-meja dilap sementara laci-laci dibersihkan.  Kursi-kursi dibersihkan lalu dinaikkan ke atas meja.  Lantai disapu hingga bersih kemudian di-pel (airnya kami timba sendiri dari sumur di kebun).  Pintu dan jendela dilap, termasuk kaca jendela yang dibersihkan dengan kertas koran basah.  Papan tulis dibersihkan dengan lap basah, kapur tulis diganti dengan yang baru, penghapus dibersihkan dari debu.  Taplak meja guru bila perlu diganti dengan yang bersih (sementara taplak meja yang kotor dibawa pulang untuk dicuci).  Gelas minum guru dan vas bunga harus diganti airnya setiap hari.  Bunga-bunga segar dipetik setiap pagi dari pekarangan sekolah dan ditaruh di vas bunga.

Semua ini kami lakukan dua kali dalam sehari.

Hasilnya suasana kelas kami selalu apik resik, semarak oleh harum bunga.  Lantai kelas pun bersih dan licin karena selalu di-pel dua kali sehari, bahkan untuk duduk atau tidur-tiduran di lantai pun terasa nyaman.

Bukan cuma ruang kelas, bahkan koridor di depan kelas kami pun turut bersih cemerlang.  Sungguh nyata terlihat perbedaannya dengan koridor kelas lain yang kotor.

Tanpa disuruh, akhirnya menjadi adat kebiasaan kami (para murid, guru, dan bahkan kepala sekolah) untuk selalu membuka sepatu sebelum melangkahi koridor kelas enam dan masuk ke dalam ruang kelasnya.

Kedisiplinan pak Hidayat dalam menjaga adab kebersihan ini sungguhlah menjadi suri tauladan bagi kami dan seisi penghuni sekolah.

Saya pribadi bahkan merasakan hal positif lain, yaitu munculnya sense of belonging.  Kami semua merasakan inilah ruangan kami.  Kelas kami adalah rumah kami.  Nyaman dan menyenangkan.

Sebagai wali kelas, pak Hidayat juga mampu mengayomi kami.  Dia tahu bagaimana menghadapi karakter anak didiknya satu persatu.  Dia tahu cara menangani saya yang pemalu sekaligus keras kepala ini dengan baik.  Cuma karena bujukan beliaulah saya berani mewakili sekolah sebagai dokter cilik, atau sebagai duta SKJ (Senam Kesegaran Jasmani).

Beliau juga memberi kami bimbingan ‘tari jaipongan’ (beliau menyuruh adik kelas yang jago menari untuk mengajari kami dan beliau mengawasi) karena untuk ujian praktek kesenian, tiap murid harus menarikan tarian tradisional, dan kami semua kompak memilih jaipongan.  Atau tepatnya kami tak punya pilihan, dan pak Hidayatlah yang memberi solusi.

Sewaktu pengumuman kelulusan, beliau rela menyambangi rumah anak didiknya satu persatu, hanya untuk menyampaikan surat tanda kelulusan serta mengucapkan selamat.

Pak Hidayat adalah ayah kami.

Maka tak heran ketika tiba masa meninggalkan SD, kami semua murid kelas enam menangis karena harus meninggalkan pak Hidayat.  Harus meninggalkan ruangan kelas kami yang nyaman.  Harus meninggalkan kebersamaan ini.  Harus meninggalkan keluarga kedua kami.

Saya tak ingat apakah pak Hidayat ikut menangis ketika kami menyalaminya satu persatu.  Mata saya terlalu berkabut untuk melihatnya.  Saya cuma ingat bahwa masing-masing kami memberinya bingkisan kenang-kenangan.  Orangtua saya membungkuskan saya dua helai kain yang mudah-mudahan bisa beliau jahit menjadi setelan safari sebagai seragam favoritnya.

Memasuki SMP, sebagian kami berpencar karena diterima di sekolah yang berbeda-beda.  Meskipun saya masuk di SMP favorit, tapi sungguh berat beradaptasi di lingkungan yang sama sekali berbeda ini.

Tak ada yang mengawasi tugas piket.  Tak ada yang menemani dan membimbing kami seharian dalam kelas, karena di SMP ini tiap mata pelajaran diajar oleh guru yang berbeda.  Wali kelas kami yang baru terasa jauh di awang-awang.  Bahkan semangat belajar saya bisa dibilang mengendur karena tak ada permainan kuis di akhir jam pelajaran.

Yang utama adalah, tak ada ruang kelas yang bisa kami sebut ‘rumah’, dan tak ada sosok ayah yang mengayomi.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan SMP kami, masalahnya mungkin cuma ‘gegar budaya’ dan adaptasi.  Kami tiba-tiba keluar dari zona nyaman.

Belum lagi kami terbiasa dengan lingkungan sekolah yang baru, tiba-tiba saja datanglah berita mengejutkan itu.

Pak Hidayat meninggal, kecelakaan!

Jika selulus SD kami menangis karena harus meninggalkan pak Hidayat, maka di SMP ini kami kembali dalam lara karena pak Hidayatlah yang meninggalkan kami.  Untuk selamanya.

Masalah beliau wafat karena kecelakaan mungkin adalah hal yang bisa kami hadapi dengan tabah.  Namun kabar miring yang menyebutkan beliau terlibat skandal adalah sungguh di luar nalar kami, anak-anak belia belasan tahun yang belum mengenal dunia dan cuma mengenal beliau sebagai sosok idola tanpa cela.

Belum pulih dari duka kehilangan pada saat itu, kemudian datang lagi kabar lain.  Pak Hidayat muncul kembali!  Kabar itu muncul begitu mengejutkan di suatu pagi: pak Hidayat tiba-tiba muncul di gerbang SD kami, memperhatikan murid-murid yang tengah senam pagi.  Konon mukanya terlihat bersih bersinar dan pakaian safarinya tampak licin berkilau.  Ia tersenyum lebar.  Lalu kemudian menghilang.

Saksi dari kejadian ini adalah seisi sekolah yang tengah berada di halaman!

Kami, mantan muridnya yang sudah SMP, tentu saja tidak dapat menyaksikan kejadian tsb.  Antara percaya tak percaya, namun hal itu kemudian sempat lama menjadi bahan perbincangan kami.  Harap kami semoga saja arwah beliau tenang di sisiNya.

Aamin.

Namun kelak kami, atau saya pribadi tepatnya, pun dapat menarik hikmah dari peristiwa tersebut.  Pak Hidayat adalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.

Saya berpegang teguh pada pepatah bijak: hate the sin, love the sinner.  Tak peduli kesalahan apa yang beliau perbuat di luar predikatnya sebagai guru, kami tetap dapat merasakan kasih sayang dan dedikasinya yang besar bagi kami para anak didiknya.

Tanpa ragu kami akan tetap menyayangi dan menghormatinya sebagai guru dan ayah terbaik.


24.9.12

The Reds



IALAH persekutuan warna yang menjadi sandang pemersatu kami (dan sama sekali tiada hubungan dengan klub pecinta sepakbola di negeri sana).

Senang rasa berjumpa dengan sosok-sosok yang selama ini wara-wiri di layar vitual dalam bentuk headshot dan tulisan. Berawal dari rasa solidaritas yang sama akan pembubaran blogger MP, membuat kami malah semakin akrab satu sama lain (dan bahkan beberapa orang malah bersua pada hari itu juga walaupun belum berkontak di dunia maya).

Pada akhirnya, pembubaranlah yang mempersatukan.


\(^v^)/




Ardi-Bimo-Rama-TJ-Echan-Inggrid

Diduk-Riswan-Ancha-Ananta-bakmiayampedas-Badai

19.9.12

[Lomba MP Parodi] Dilema Batman

Syahdan, akibat kecerobohannya turut bermain dalam sinetron Tutur Tinular, akhirnya Bruce Wayne pun dijebloskan ke penjara bawah tanah.  Kastilnya disegel, semua kamar digeledah.  Naskah & kontrak sinetron dikabar.  Kostum Batman disita, termasuk kostum Pramuka dan Sailor Moon (padahal dua terakhir itu milik Robin & Catwoman).  Kesalahan Bruce Wayne hanya termaafkan jika ia berhasil memanjat keluar dari lubang penjara bawah tanah.  Hal itu nyaris mustahil mengingat lubang tsb seperti gua vertikal.

Di dalam penjara, Bruce pun giat berlatih siang malam menempa fisiknya.  Beberapa kali ia coba memanjat menggunakan tali, tapi gagal meraih pijakan di dinding gua.  Usahanya mendapat simpati dari sesama tahanan, salah satunya sang tahanan buta.  “Kau tak takut mati. Kau kira itu membuatmu kuat. Itulah yang membuatmu lemah,” nasehat beliau.

Bruce berkilah, “Aku takut mati.  Aku takut kecoak.  Aku takut dibohongi pacar.  Aku takut mati di sini, sementara kotaku terbakar, dan tak ada yang menyelamatkannya.”

“Maka memanjatlah!  Seperti anak itu dulu, tanpa tali.”

Bruce terkesiap.  “Maksudmu seperti Bane?  Atau Miranda?”

“Bukan, tapi Sadako!  Ia memanjat dengan kukunya.”

Eaaa!  Pingsanlah Bruce.

Namun setelah siuman, Bruce menjadi semakin bertekad untuk memanjat keluar dengan cara apapun, KECUALI cara ekstrim ala Sadako.  Tanpa diduga salah seorang tahanan mengajukan diri untuk memberi bantuan.  Ia adalah seorang pemanah ulung.

“Legolas!  Apa yang kau kerjakan di sini?”  Bruce kaget menjumpai sang pemanah tsb.

Legolas menghela nafas.  “Actually, I’ve come to the wrong set.  Tapi sudah terlambat sekarang, karena seluruh kru sudah terbang syuting ke NZ,” ujar Legolas dengan murung.  Bruce pun mem-puk-puk punggungnya.

Singkat cerita Legolas pun mengajukan idenya.  Ia akan memanah ke sepanjang dinding gua vertikal sehingga anak-anak panah tsb akan tertancap membentuk seperti tangga melingkar ke atas.   Sungguh ide yang cemerlang!

"Ini anak panah sakti," ujar Legolas.  "Total 200 batang.  Kudapat dari seorang perempuan cekikikan yang melayang tengah malam."

Bruce mengamati anak panah yang ditunjukkan Legolas.  Di beberapa batang masih ada sisa kerak daging.  Dicicipnya sedikit.  "Aha, positif ini bekas tusuk sate!  200 tusuk pula! Sepertinya aku tahu perempuan cekikikan yang kau maksud!"

Legolas tersenyum penuh rahasia.  “Well, punggungnya terlihat luka parah.  Itu clue-nya.”

Mereka tak membahasnya lebih lanjut karena sudah tiba waktunya beraksi.  Legolas sungguh digdaya kala beraksi dengan senjata andalannya.  Ia memanah 5 anak panah berurutan membentuk tangga, kemudian menaikinya, lalu kembali memanah 5 anak panah lainnya membentuk tangga baru, kemudian menaikinya lagi, dst, dst.  Anak panah ke-200 maka tibalah ia di puncak gua.  “Ayo naik, bro!” ujarnya dari atas.

Bruce pun mulai mendaki tangga melingkar tsb.  Ia harus bergegas karena tusuk sate itu tak bisa menancap lama di dinding lubang.  Hatinya semakin berdebar semakin ia mendekati puncak.  Apalagi ia mendengar ada suara Selina (Catwoman) di atas sana.

Sebelum keluar dari lubang, ia sempat melambaikan tangan kepada para tahanan di bawah sana.  “I’m gonna miss you all!  Aku akan kirim kartu pos buat kalian!”

Namun setelah menjejakkan kaki di luar lubang, Bruce malah mendapati Selina dan Legolas yang termenung.  “Ada kabar baik dan buruk buatmu,” gumam Selina setelah cipika-cipiki dengan Bruce.  “Kabar baiknya adalah kau dimaafkan dan bebas.”

Bruce masih menanti kabar selanjutnya.  Tegang.

“Kabar buruknya adalah kisah hidupmu akan difilmkan.”

Cyus??? Miapah???” Bruce nyaris terlonjak, antara kaget dan senang.  “Aku mau diperankan oleh Robert Pattinson, dong!  Dan kamu diperankan oleh Nikita Willy!”

“Dan di film ini bakal ada pemunculan cameo macam Sadako, Sundel Bolong, dan ehem, saya sendiri,” sahut Legolas dengan pipi bersemu merah.  “Produsernya masih sama dengan yang bikin sinetron Tutur Tinular.”

Selina tersenyum prihatin.  “Lebih epic lagi malah,” ujarnya kemudian.  “Jadi Batman & Catwoman akan diperankan oleh Nazar & Musdalifah.”

“Apa???”

Bruce pun pingsan dengan gemilang.  Ingin rasanya ia kembali nyemplung ke lubang.


TAMAT


Tulisan ini dibuat dalam rangka memeriahkan lomba yang diadakan oleh Ancha, Echan, dan Yana


15.8.12

Red | White


ADALAH merah-putih, padu-padan dua warna yang sudah menghiasi langit Nusantara sejak digunakan sebagai panji-panji kerajaan Majapahit (atau mungkin lama sebelumnya).  Pada tahun 1928 merah putih sudah digagas menjadi warna bendera nasional, dan pada tahun 1945 berkibarlah bendera pusaka merah putih sejati.

Adalah merah-putih pula yang ternyata kerap menghiasi warna dalam foto-foto saya selama ini.  Merah putih dalam foto saya tak melulu hadir secara proporsional, karena salah satu warna dominan saja mampu memberi nuansa yang kuat.  Tak harus muncul dalam bentuk bendera, terkadang alam dan suasana sekitar menampakkan unsur kedua warna tsb dalam harmonisasi.

Lihatlah ke sekitar, lihatlah bumi Indonesia, ada berapa banyak merah dan atau putih yang tertangkap oleh matamu?

Please click picture to enlarge.





All pictures in this album are copyrighted © 2008-2012 duabadai.blogspot.com
All rights reserved.

7.8.12

TT TJ

TT adalah Tambah Teman.  TJ adalah nama seorang teman Multiply yang layak dijadikan teman.  Kami sudah jadi kontak sejak era 2008 SM (Suburjaya Multiply).  Pada masa itu hampir tiap minggu ada acara kopdar, dan dalam setahun saja seorang member aktif bisa panen raya sampai puluhan orang teman baru, ckckck!


Anyway, dari sekian puluh wajah baru yang memenuhi slot memori saya sepanjang tahun pergaulan itu, si TJ ini termasuk salah satu yang masih setia jadi teman baik saya hingga detik ini, baik secara nyata ataupun alam gaib virtual.


Satu poin plus dari saya adalah TJ bisa diajak ngobrol serius hingga ngobrol gila.  Sekali waktu pernah kami bahas tentang illuminati, di tengah-tengah pembicaraan TJ nyeletuk kalo dia lebih memilih gerakan yang lebih muda yaitu illucantika -____-
*buat yang gak ngeh, Cantika itu anaknya Minati*


Opini pribadi seorang TJ terkadang suka beda dari persepsi umum, dan setelah dipikir-pikir kerap benar adanya.  Dia sangat menentang konsep 'nyinyir is reality, otherwise is fake' dan saya sepaham dengannya.


Seperti lazimnya dunia pertemanan pasti ada konflik dan intrik yang mencuat.  TJ ini termasuk golongan non blok, atau bisa masuk ke semua golongan.  Misal A dan B saling berselisih paham, maka baik A maupun B sama-sama bisa  curhat dengan nyaman kepada TJ, dalam artian TJ bisa memposisikan diri sebagai pendengar yang baik sekaligus menunjukkan kalau dia berada di pihak netral.


Saya yakin TJ ini ibarat bank data yang menyimpan semua keluh kesah teman-temannya, dan oleh karenanya tak heran jika ia menyimpan banyak kartu as masing-masing teman. Beruntung ia bukan teman yang suka makan teman.  Yang ada malah TJ yang pernah dimakan teman, bukan begitu? *ceritanya keceplosan*


Rumah TJ di Multiply pun termasuk menghibur dan menginspirasi, salah satunya sewaktu ia posting tentang jurnal masa kecil (Blog TJ Waktu Kecil), dimana saya pun kemudian terinspirasi membuat postingan bertema serupa (Blog Masa Kecil).


Oya, selain jago gambar, TJ juga punya suara emas lho yang layak diperdengarkan ke khalayak ramai.  Sesekali ajak dia karaoke, atau nyanyi bareng deh.  Seorang Nina Tamam aja sampe nyembah-nyembah sewaktu mereka dadakan duet nyanyi "When I Fall In Love" (ini salah satu kado ultah paling asoy geboy bagi saya, thanks guys!).


Jadi buat yang penasaran ingin kenal lebih lanjut sama TJ (sekilas dia pemalu, tapi sungguh itu cuma kedok!), sila berkunjung ke sini dan jangan lupa klik block add









30.7.12

[Xenophobia] Monster

[I]


Namanya Marcell.  Ia adalah hal yang paling tidak diinginkan di muka bumi.  Mungkin.


Terlahir ke bumi dalam situasi dan kondisi dimana hanya Tuhan yang tahu maksudnya.  Dalam tubuhnya mungkin mengalir darah murni peninggalan beberapa generasi di atasnya, namun gen 'kampung' tampak lebih mendominasi penampilan.  Ia tampak aneh dan terasing.  Dan orang-orang selalu melihatnya sebagai 'bukan sesuatu' yang layak diperhatikan atau mungkin bahkan harus dihindari.


Kami pun termasuk dalam golongan kebanyakan yang semula tak mengacuhkan keberadaannya.  Bagaimana tidak, ia selalu tampak merana di sudut ruangan, membuat kami mengira sang majikan pemilik toko tentu menghukumnya karena ia telah berbuat salah.  Atau karena ia jelek.  Bisa saja penampilan lusuhnya membuat calon pembeli enggan mampir.


Setelah beberapa kali kunjungan, perhatian kami mulai terusik ketika sang pemilik toko bilang hendak mendepaknya keluar.  Pada saat itulah kami tersadar bahwa ada makhluk ciptaan Tuhan yang selama ini terabaikan padahal kami selalu lalu lalang di depan hidungnya.


Sapaan ramah dan tepukan di kepala sungguh membuat perbedaan besar.  Bola matanya yang biasanya redup kini mendadak hidup.  Tubuhnya menggeliat, lalu ekornya mulai berkibas.  Terpesona kami, seakan ada suatu energi yang kini menyedot perhatian.  Abaikan penampilan luar, sesungguhnya ia adalah sosok yang menarik dan menggemaskan.


Beberapa lembar rupiah, dan ia pun berpindah tangan.



[II]


Teman saya baru pindah rumah ke daerah pinggiran Jakarta yang padat penduduk.  Sebagai seseorang yang bekerja di bidang desain interior ia bisa menyulap rumah kecilnya menjadi terasa lapang dan nyaman.  Tak lupa dibuatnya sebuah kolam kecil di teras depan dan diisinya dengan sejumlah ikan koi.


Pada suatu hari, didapatinya kolam kecilnya sudah hampa.  Ikan-ikan koi miliknya raib.  Gemercik air mancur cuma menimbulkan riak-riak kosong di kolam yang melompong.  Para tetangga cuma berkata ompong, tiada info yang menolong.  Teman saya pun terbengong-bengong.


Usaha kedua, dibelinya lagi ikan-ikan koi yang baru.


Tak butuh waktu lama, para maling pun dengan senang hati bertandang kembali menguras isi kolam.  Teman saya naik pitam, memaki-maki pagar tembok yang bisu.  Saya tahu, sebenarnya ia tengah mengutuk para pencuri yang dicurigai berasal dari daerah sekitar yang mengetahui kapan rumahnya sedang kosong.


Teman saya kuatir lama kelamaan bukan hanya ikan koi yang dijarah.  Ia tahu ia butuh penjaga.



[III]


Namanya Marcell.  Nama itu meluncur begitu saja dari mulut teman saya.  Beberapa lembar rupiah telah berhasil menyelamatkan Marcell.  Teman saya sedang butuh penjaga, dan menurutnya Marcell paling pantas melakoni tugas ini.


Maka diboyonglah Marcell.  Dibuatkannya pos jaga tepat di balik pagar tembok, agar siapapun kelak yang coba-coba melompat masuk akan mendapat sambutan selamat datang dari sang penjaga.


Usaha yang ketiga, kolam kecil di teras depan rumah teman saya sudah kembali dihuni oleh ikan-ikan koi baru.  Marcell menjalankan tugasnya dengan baik.  Ia memang tak bisa kemana-mana selain mondar-mandir di dalam pos jaga, namun kehadirannya mampu membuat ikan-ikan koi tetap tinggal damai di kolamnya.  Teman saya merawat Marcell dengan baik.  Kini sosoknya lebih gemuk dan penampilannya lebih segar.  Marcell memang galak pada hal yang masih asing baginya, namun di sisi lain ia selalu menyambut siapapun yang dikenalnya dengan ekspresi riang dan ekor yang berkibas-kibas.


Di kemudian hari, datanglah pak RT menemui teman saya (saya tak tahu apakah pak RT datang dengan takut-takut karena disambut dengan galak oleh Marcell).  Pada intinya, beliau menyampaikan keberatan warga atas hadirnya Marcell di lingkungan mereka.  Bahwasanya Marcell telah menakut-nakuti warga dengan 'bunyi peringatan' dari mulutnya.  Bahwa anak-anak jadi takut melewati gang depan rumah karena takut rabies, bahwa ibu-ibu kehilangan tukang sayur dan tukang bakso langganan yang tak berani lewat gang depan rumah, dan (alasan paling bodoh menurut saya) adalah: "Bapak-bapak dan segenap warga jadi tak bisa ke masjid karena harus lewat gang depan rumah.  Bukankah itu jadi haram hukumnya?"


Kemudian balon-balon dialog pun kosong.


Saya bisa bayangkan andaikan ada bunyi jangkrik pastilah derik suara mereka ramai mengiringi percakapan hampa.  Teman saya yang temperamental pastinya sibuk menahan emosi yang hendak meledak.  Pak RT yang salah tingkah pastilah sibuk mencari kata-kata yang lenyap.


Saya sendiri tak habis pikir akan keberatan warga.  Bayangkan, selama ini Marcell berjaga dalam kandang berteralis.  Pos jaganya terletak di dalam halaman berpagar tembok.  Pagar tembok itu cukup tinggi memisahkan Marcell dan gang depan rumah.  Siapapun yang lewat (terutama jika menimbulkan bunyi-bunyi mencurigakan) tentu akan mendapatkan 'alarm peringatan' dari Marcell.  Tapi cuma itu.  Marcell sama sekali tak bisa menyentuh atau mencelakakan siapapun yang lewat gang depan rumah.  Omong kosong jika mereka takut najis, karena Marcell selalu terkurung dalam pos jaganya.  


Lantas darimana fatwa yang menjadikan gang depan rumah ini haram untuk dilewati?  Dimana logika?  Oh, mereka tak perlu logika, melainkan cukup sembarang tafsir dari ayat kitab suci, demikian penuturan teman saya kemudian ketika menceritakan kembali peristiwa itu pada saya.


Lantas apa yang terjadi kemudian, tanya saya penasaran.


Tak ada, kata teman saya.  Saking emosi saat itu, ia malah kehilangan kata-kata.



[IV]


Berhari-hari kemudian, setelah pemikiran panjang dan berdiskusi dengan ibu tercinta dan beberapa teman dekat, akhirnya teman saya pun mengambil keputusan penting.  Marcell harus keluar.  Supaya gang depan rumah kembali steril dan (sungguh rasanya berat untuk menuliskan hal ini) tidak haram untuk dilewati warga.


Menurut saya, warga sekitar belum terbiasa dengan sosok asing seperti Marcell.  Ketakutan mereka semu, rasa ngeri yang bahkan belum jelas ancamannya apa.  Akibat paranoid berlebih itulah warga pun mencari cara menyingkirkan 'monster' tsb dari hidup mereka (padahal saya yakin sebagian besar dari mereka belum pernah melihat penampakan sang 'monster' yang aslinya mungil tsb, melainkan hanya mendengar suaranya sesekali saja).  Jika Marcell cuma galak di awal dan jinak kemudian, maka warga sekitar ini takut di awal dan malah menghakimi kemudian tanpa mencari tahu lebih lanjut.  Tak ubahnya sebuah twit nyinyir yang malah di-amin-i massa tanpa mencari tahu latar belakangnya.  Dan itu menjadikan mereka seakan-akan lebih 'monster' dibandingkan Marcell sendiri.


Bagaimanapun, teman saya tak ingin rumahnya dikepung dan dirusak massa jika ia berkeras mempertahankan Marcell.  Dalam hal ini, ia harus bertoleransi lebih dan lebih dengan warga sekitar (meskipun sebenarnya ia ingin meledak atas ketidakadilan ini).  Yang waras ngalah, demikian petuah sang ibu.  Perkara ini butuh toleransi, bukan emosi.


Beruntung ada seorang teman lain yang tak keberatan menampung Marcell.  Kami masih bisa mengunjunginya kapanpun.  Teman saya sampai bertekad bahwa kelak ia akan pindah rumah ke lingkungan yang lebih bertoleransi tinggi sehingga dapat berkumpul kembali dengan Marcell.


Sepeninggal Marcell, teman saya pun menyingkirkan ikan-ikan koi dari kolam, lalu memasang alarm elektronik di segenap penjuru rumah.  Alarm elektronik memang tak bisa diajak berinteraksi, namun setidaknya cuma itu usaha maksimal yang bisa ia lakukan.



[V]


Namanya Marcell.  Sepertinya ia memang harus menerima nasib menjadi hal yang paling tidak diinginkan di muka bumi.  Dimanapun.


Suatu hari kabar buruk itu datang.  Marcell ditemukan terbaring kaku dengan mulut berbusa.  Ia mati diracun.  


Siapakah monster sebenarnya, Marcell?


Sedih kami tak terperi, mengingat jalan hidup Marcell yang (hampir) selalu berada dalam kemalangan.  Namun di sisi lain ada lega terbersit, karena sosok kami pernah terpantul di bola matanya yang berbinar-binar, walau cuma singkat saja.  Mungkin sudah saatnya kini ia menemukan tempat di atas sana dimana ia merasa diinginkan.  Semoga.




Marcell sekilas wajah (foto koleksi pribadi)




Written based on true story for the writing competition about [Xenophobia]


14.7.12

Sukabumi | Pondok Halimun



PONDOK Halimun ini bukan tempat bernaung melainkan sebuah lembah berkabut di kaki gunung Gede-Pangrango.  Sebelum mencapai Selabintana, Sukabumi, kita harus berbelok arah mengikuti matahari terbit.  Jalan berliku dan berlubang menuju ketinggian.  Pucuk-pucuk daun teh selalu basah oleh halimun berembun.

Tatkala surya tlah di pucuk kepala, halimun menghilang dan yang terhampar adalah bukit-bukit bergelombang dan pemandangan kota Sukabumi nun di kejauhan sana.  Sungai bergemercik dengan airnya yang bening dan dingin.  Rasanya inilah air sungai terdingin yang pernah saya sentuh: begitu mencelupkan kaki ke sungai maka kaki langsung terasa pegal dan seperti kesemutan, tak lama kemudian tulang kaki akan terasa ngilu.  Bernyalikah saya mandi-mandi di sungainya?  Kita lihat kelak.

Pondok Halimun selain mempunyai jalur trekking, terdapat pula area bumi perkemahan dan tempat konservasi elang jawa.  Pun bisa terlihat beberapa ekor elang terbang berputar-putar di atas pucuk pepohonan tertinggi.

Rasanya tak cukup cuma sesaat menghabiskan waktu di tempat ini.  Lain kali harus mencumbu halimunnya dan membasahkan tubuh di sungainya.  Siapa berani?





All pictures in this album are copyrighted © 2012 duabadai.blogspot.com
All rights reserved.

9.7.12

Sátántangó

Rating:★★★★★
Category:Movies
Genre: Drama
INI bukan film tentang setan, tapi memang ungkapan yang tepat setelah menontonnya adalah: SETAN!  Luar biasa terperdaya dan teraniaya luar binasa.  Tak pernah terpikir sebelumnya jika saya bakal sanggup menonton film berdurasi TUJUH JAM nonstop, dimana sensasi setelah meyaksikannya adalah cuma duduk terhenyak.  Tired yet mesmerized.



Directed & screenplay by  Béla Tarr 
Based on novel by   
      László Krasznahorkai 
Starring      
            Mihály Vig as Irimiás 
              
            Éva Almássy Albert as Schmidtne 
              
            Erika Bók as Estike 
Music by      
            Mihály Vig  
Cinematography            Gábor Medvigy 
Running time              450 min
Country                   Hungary, Germany, Switzerland
Language                  Hungarian


Alkisah tersebutlah sekelompok penduduk di sebuah desa miskin di Hongaria yang hendak hijrah dan mencari penghidupan yang lebih baik.  Rencana tak berjalan mulus karena pemunculan kembali tokoh Irimiás yang dianggap sudah hilang sebelumnya.


Salah satu adegan awal adalah sebuah jendela yang menampakkan pemandangan desa yang jemu, kelabu, suram.

...

Semenit kemudian adalah sebuah jendela yang menampakkan pemandangan desa yang jemu, kelabu, suram.

...

...

...

Bermenit-menit selanjutnya adalah sebuah jendela yang menampakkan pemandangan desa yang jemu, kelabu, suram.


Can you imagine how depressive it was?  Sang sutradara Béla Tarr berhasil membawa penonton ke dalam pengenalan situasi yang sama persis seperti yang dialami oleh tokoh cerita dalam film: merasa jenuh dan depresif.  Dan ini baru menit-menit awal.


Tarr banyak menghadirkan long shot yang masing-masing berdurasi 7 hingga 10 menit hanya untuk menyampaikan sebuah adegan.  Menyaksikannya mungkin seperti mengamati sebuah lukisan, kita dibiarkan untuk mengamati satu persatu obyek yang ada di layar, dan membiarkan imajinasi bermain di dalamnya.  Ia seakan menghipnotis.


Di saat penonton mungkin sudah nyaris (mati) kebosanan karena adegan yang monoton dan senyap, dengan semena-mena Tarr memasukkan unsur musik yang gaduh dan tidak harmonis.  Ketukan yang berulang-ulang dan menyiksa pendengaran.  Bagi saya ini mencekam, sama horornya seperti musik latar film Pengkhianatan G30S yang masih mampu bikin bulu kuduk berdiri. 


Lagi-lagi Tarr berhasil menyiksa penonton.  Ia memaksa kami merasakan apa yang sekiranya dirasakan oleh para tokoh cerita: tersiksa dan ingin keluar dari penderitaan.


Tapi sungguh saya tak bisa mengalihkan pandangan dari layar.  Ada beberapa adegan lain yang saya anggap golden scene karena sungguh-sungguh menancap dalam benak (saya hanya menuliskan sebagian karena tak mau tulisan ini berisi spoiler semata).


adegan baskom
Long shot menampakkan baskom yang tergeletak di lantai gelap.  Terdengar suara ranjang berderit.  Tebaklah apa peran serta si baskom dalam adegan ranjang yang sama sekali tak menampilkan ranjang tsb?


adegan dansa
Sebelum hijrah, para penduduk berkumpul di bar dan menari tango.  Ini adalah adegan yang bikin saya menjura.  Belum pernah dalam satu scene saya dibuat terkagum-kagum sekaligus terpusing-pusing karena harus memilih tokoh mana yang harus saya amati lebih dulu (karena masing-masing menampilkan gerakan/kegiatan unik).  Epic!

Tapi satu hal yang paling menarik perhatian saya adalah karakter Schmidtne (bahkan saya bisa mencium bau alkohol dan keringat lembab dari blus longgarnya) dimana ketika ia menari tango semakin lama (maaf) puting payudaranya tampak semakin menonjol.  Maafkan jika saya salah, tapi saya berharap penglihatan saya benar adanya.  She's getting hard in every move! 

Belakangan Tarr mengakui jika para pemeran yang berdansa dalam adegan tango setan itu adalah dalam keadaan mabuk.


adegan kucing
Seekor kucing disiksa oleh anak kecil bernama Estike dengan cara-cara di luar perikekucingan.  Saya suka adegan sadis, apalagi yang terlihat nyata (dan saya curiga bahwa adegan ini adalah nyata adanya tanpa special effects).  

Benar saja scene ini memang sempat menuai protes, namun Tarr berkilah bahwa sang kucing (yang merupakan hewan peliharaannya sendiri) itu dalam kondisi "baik-baik saja".


adegan jalan
Estike berjalan tergesa-gesa di jalan berlumpur sambil menggendong mayat kucing.  Wajahnya tampak dingin dan tatapan matanya menusuk.  Saya perhatikan bahkan Estike sama sekali tidak pernah berkedip selama kamera menyorot wajahnya!  Benar-benar "bocah setan", saya salut sama pemerannya!

Setelah berjalan sejauh itu, Estike pun melakukan sesuatu yang membuat saya berbalik menjadi iba pada dirinya.  Sesungguhnya ia cuma bocah kesepian. 


Tarr mengadaptasi film ini dari novel debut berjudul sama karya László Krasznahorkai.  Sang penulis gemar berpanjang lebar dalam mendeskripsikan cerita.  Adegan awal film ini pada intinya hanyalah sebuah kalimat sederhana "One morning, Futaki woke to hear bells".  Tapi coba simak apa yang sesungguhnya tertulis di novelnya:

One morning near the end of October not long before the first drops of the mercilessly long autumn rains began to fall on the cracked and saline soil on the western side of the estate (later the stinking yellow sea of mud would render footpaths impassable and put the town too beyond reach) Futaki woke to hear bells.

Beruntung sang sutradara tak kalah brilian dalam mengejawantahkan maksud sang penulis dalam bentuk gambar bergerak.  Viva long shots!  


Watching this movie was such a mental experience for me.  Saya mungkin takkan sanggup menonton ulang film ini secara utuh, terlalu melelahkan (kecuali jika dibagi per segmen, misalnya).  Namun bahkan hanya dengan sekali menontonnya, saya masih bisa mengingat banyak detail adegan di dalamnya. Sungguh mengesankan.  Bagaikan saya sendirilah salah satu tokoh cerita dalam film tsb.


Ini bukan film bagus yang bisa jadi favorit semua orang, tapi ini film jenius.  Ini adalah sebuah tantangan. Dan saya bangga pernah menyaksikannya, utuh.  Hail to Béla Tarr!

10.3.12

Komunitas Susu

PAGI ini iseng masuk ke salah satu link fotografi di FB, dan seperti sudah saya duga, cuma itu-itu lagi yang didapat.  Seakan-akan kreativitas fotografer Indonesia sudah tumpul, narrow minded.


Saya berani bilang kalau 80% anggota cuma mengunggah foto-foto wanita dalam pose seronok atau apa adanya, barangsiapa memperlihatkan 'barang bagus' (alias susu tumpah) maka dialah yang mendapat jempol dan komentar paling banyak.  Tak ubahnya melihat arsip majalah dewasa (murahan).


I mean, where's the essential of photography anyway?


Apakah fotografi hanya mencakup lekuk tubuh wanita muda?  Apakah memotret wanita harus identik dengan seksi?  Apakah seksi itu identik dengan susu?  Sehat sih iya! *siap-siap ditampol*


Seriously, saya tidak mengusik minat dan hobi mereka.  Saya pun menyukai keindahan, tapi sama sekali bukan yang vulgar.  Jadi cuma mau sumbang saran nih ya, kalau mau ekspos tubuh wanita, baiknya ganti nama grup saja semisal "Fotografi Susu", tak usah membawa embel-embel "NIKON Photography" misalnya.



Salam sehat,



7.2.12

Kejadian Asal

Air mengalir kata orang.  Tanah belum ada kata orang.  Cuma air, gunung belum ada kata orang.  Batu belum ada kata orang.  Ikan belum ada kata orang.  Rusa belum ada kata orang.  Beruang belum ada kata orang.  Macan tutul belum ada kata orang.  Serigala belum ada kata orang.  Orang hanyut kebanjiran belum ada kata orang.  Burung hanyut kebanjiran belum ada kata orang.  Macan tutul hanyut kebanjiran belum ada kata orang.  Rusa hanyut kebanjiran belum ada kata orang.  Anjing hutan belum ada kata orang.  Gagak belum ada kata orang.  Bangau belum ada kata orang.  Burung pematuk kayu belum ada kata orang.  Burung wern belum ada kata orang.  Burung mendengung belum ada kata orang.  Berang-berang belum ada kata orang.  Kelinci belum ada kata orang.  Tupai kelabu belum ada kata orang.  Mencit telinga panjang belum ada kata orang.  Angin belum ada kata orang.  Salju belum ada kata orang.  Hujan belum ada kata orang.  Guruh belum menggemuruh kata orang.  Waktu itu pepohonan belum ada ketika guruh belum menggemuruh kata orang.  Cahaya belum dinyalakan kata orang.  Awan gemawan belum terbentang kata orang.  Kabut belum digantungkan kata orang.  Tak nampak apa-apa kata orang.  Bintang gemintang belum dipasang kata orang.


Gelap amat waktu itu.

 


Puisi Lisan Indian Kato (Penyair Tak Dikenal), melalui terjemahan Pliny Earl Goddard, diringkaskan oleh Jerome Rothenberg.