Apa rasanya jika guru
kesayangan kita wafat dengan kabar miring mengiringi kepergiannya? Tentu menyakitkan.
Hari itu (lebih dari satu dekade lalu) kami
berkumpul di salah satu sudut kelas, sebagian menangis. Gedung sekolah ini masih asing bagi kami,
anak-anak angkatan baru di sebuah SMP negeri.
Kami yang tengah berkabung di sini adalah alumni sebuah sekolah dasar
yang sama, dan baru saja mendengar kabar wafatnya guru SD kesayangan kami
karena kecelakaan lalu lintas.
Salah satu teman
kami, Ningsih, bahkan sudah bengkak matanya, padahal pipinya sendiri sudah
tembam. Tapi ia masih bisa bercerita
jika pak Hidayat (demikian nama guru kesayangan kami) mendapat kecelakaan
seusai bertengkar dengan istrinya. Konon
ada pihak ketiga yang mengganggu keharmonisan rumah tangga mereka.
Saya tak kuasa
menangis, air mata saya tiada, tapi di dalam hati saya ada rasa nyeri tak
terperi. Pedih. Kami hanyalah anak-anak lugu yang baru
beranjak remaja (bahkan saya sendiri belum mengalami pubertas pada saat
itu). Tak heran jika kejadian tsb
sungguh mampu membuat perasaan kami terguncang.
Rasa sedih kami
mungkin berlipat ganda. Satu, kehilangan
sosok idola. Dua, kehilangan keidolaan
pada sosok tersebut (di mata kami pada saat itu pak Hidayat adalah seorang yang
sempurna tanpa cela). Dan terakhir,
kejadian ini membuat kami semakin merasa kehilangan saat-saat indah semasa
sekolah dasar dulu (sungguh kami benci dan belum terbiasa dengan suasana di SMP
ini).
Mari kembali ke masa
sekolah dasar. Gedung sekolah kami
terletak di samping kebun lebat berpohon durian dan nangka dan bersarang semut
rangrang. Jika tiba musim buah, kami
harus waspada akan ketiban durian atau nangka, dalam arti sebenarnya. Pernah salah seorang adik kelas jatuh pingsan
ketika sebuah nangka besar jatuh dari pohon, menembus genting dan plafon sekolah
dengan suara BRAAAK, lalu menimpa
dirinya yang tak sempat menghindar.
Tapi peristiwa nahas
itu cuma terjadi sekali, dan selebihnya kami malah lebih sering mengambil
keuntungan dari buah-buahan yang matang di kebun sebelah. Pemilik kebun ini adalah salah seorang
penduduk setempat, dan beliau selalu bermurah hati membagi hasil kebunnya
dengan kami.
Pak Hidayat adalah
wali kelas enam, dan inilah keberuntungan yang sesungguhnya karena kami bisa berada
di bawah asuhan beliau.
Kekaguman saya pada beliau
sudah terpateri sejak saya mendapat piagam penghargaan setiap kenaikan kelas. Tiap lembar piagam ditulis tangan dengan
indah olehnya sendiri. Tulisannya bak
seni kaligrafi.
Salah satu inspirasi
paling dini yang saya dapatkan dari beliau adalah bagaimana mendapatkan tulisan
tangan yang setidaknya bisa dibilang bagus.
Saya paling rajin berlatih dengan buku menulis halus, dan walaupun
kemudian tulisan tangan saya tak seindah tulisan pak Hidayat yang berukir-ukir,
tapi setidaknya tulisan tangan saya semasa sekolah jauh lebih bagus dari masa
sekarang. Terbukti saya selalu ditunjuk
menjadi sekretaris kelas dari SD hingga kuliah (walaupun terkadang saya enggan
karena sering diledek, “Sekretaris kok
tak pakai rok mini?”).
Selain wali kelas
enam, pak Hidayat adalah juga guru agama (mungkin sedikit banyak beliau belajar
ilmu kaligrafi berkat profesinya ini).
Pak Hidayat adalah mentor rohani kami sekelas dan sesekolah. Jangan bayangkan beliau sebagai kakek-kakek
bersurban dan berjanggut putih, salah besar.
Ia adalah seorang bapak muda yang gagah, berwajah klimis dengan rambut
yang selalu licin berminyak, serta gemar mengenakan setelan safari full-pressed-body. Pembawaannya riang dan humoris, namun juga
tegas.
Usai jam pelajaran
sekolah, pak Hidayat selalu mengadakan kuis.
Ia akan melontarkan sebuah pertanyaan (yang membutuhkan jawaban panjang
atau detail), lalu siapapun yang mengacungkan tangan terlebih dahulu
dipersilakan menjawab pertanyaan tsb di depan kelas. Jika sang murid bisa menjawabnya dengan tepat,
maka murid-murid lain yang duduk satu lajur dengannya boleh meninggalkan kelas
terlebih dahulu. Dan jika sang murid
mendapat kesulitan dalam menjawab pertanyaan, maka murid-murid yang duduk satu
lajur dengannya diperbolehkan membantu.
Saya masih ingat ketika
kuis ini perdana digelar, sayalah yang mendapat kesempatan pertama maju ke
depan kelas. Pertanyannya mudah saja:
sebutkan masing-masing hasil perkalian 1 sampai dengan 10.
1 x 1 = 1, 1 x 2 = 2,
dst saya ucapkan dengan lantang. Setelah
1 x 10 = 10 saya berhenti lalu melirik pak Hidayat.
Beliau tertawa lalu
bilang, “Teruskan ke perkalian 2, lanjut hingga perkalian 10.”
Oh, saya kira sudah selesai, ternyata masih banyak hasil
perkalian yang harus diucapkan.
Beruntung saya sudah hafal. Tanpa
ragu saya kembali mengucapkan hasil perkalian dengan lantang.
Memasuki perkalian 7
ke atas mulut saya sudah kering sehingga beberapa kali ucapan saya tersendat. Pak Hidayat tertawa melihat saya acap kali
menelan ludah untuk melumasi tenggorokan.
Mungkin dikiranya saya bakal menyerah, tapi tak akan.
Pada akhirnya saya
berhasil menunaikan tugas dengan sempurna.
Gegap gempita seisi kelas merayakan keberhasilan tugas perdana ini, dan
saya nyaris merasa bagaikan pahlawan yang sedang dielu-elukan.
Kuis seperti ini selalu
diadakan setiap hari, materi pertanyaannya pun acak dari semua mata pelajaran,
sehingga mau tak mau membuat kami harus selalu siap sedia setiap saat. Kami jadi lebih giat belajar, jauh lebih
tekun dibandingkan semasa kelas satu hingga kelas lima dahulu.
Lantas apakah setelah
kuis maka kami bisa langsung pulang?
Jangan senang dulu,
tergantung jadwal piket kebersihannya.
Jika di kelas lain jadwal piket cuma dilakukan sekedarnya di pagi hari,
maka pak Hidayat menyuruh kami kelas enam bertugas piket dua kali dalam sehari,
yakni sebelum dan seusai jam sekolah.
Jika biasanya tugas
piket hanya terdiri atas menyapu kelas dan membersihkan papan tulis, maka di
bawah pengawasan pak Hidayat deretan tugas kami bertambah. Meja-meja dilap sementara laci-laci dibersihkan. Kursi-kursi dibersihkan lalu dinaikkan ke
atas meja. Lantai disapu hingga bersih
kemudian di-pel (airnya kami timba sendiri dari sumur di kebun). Pintu dan jendela dilap, termasuk kaca
jendela yang dibersihkan dengan kertas koran basah. Papan tulis dibersihkan dengan lap basah,
kapur tulis diganti dengan yang baru, penghapus dibersihkan dari debu. Taplak meja guru bila perlu diganti dengan
yang bersih (sementara taplak meja yang kotor dibawa pulang untuk dicuci). Gelas minum guru dan vas bunga harus diganti
airnya setiap hari. Bunga-bunga segar dipetik
setiap pagi dari pekarangan sekolah dan ditaruh di vas bunga.
Semua ini kami
lakukan dua kali dalam sehari.
Hasilnya suasana
kelas kami selalu apik resik, semarak oleh harum bunga. Lantai kelas pun bersih dan licin karena selalu
di-pel dua kali sehari, bahkan untuk duduk atau tidur-tiduran di lantai pun
terasa nyaman.
Bukan cuma ruang
kelas, bahkan koridor di depan kelas kami pun turut bersih cemerlang. Sungguh nyata terlihat perbedaannya dengan koridor
kelas lain yang kotor.
Tanpa disuruh, akhirnya
menjadi adat kebiasaan kami (para murid, guru, dan bahkan kepala sekolah) untuk
selalu membuka sepatu sebelum melangkahi koridor kelas enam dan masuk ke dalam
ruang kelasnya.
Kedisiplinan pak
Hidayat dalam menjaga adab kebersihan ini sungguhlah menjadi suri tauladan bagi
kami dan seisi penghuni sekolah.
Saya pribadi bahkan
merasakan hal positif lain, yaitu munculnya sense
of belonging. Kami semua merasakan inilah ruangan kami. Kelas kami adalah rumah kami. Nyaman dan menyenangkan.
Sebagai wali kelas,
pak Hidayat juga mampu mengayomi kami.
Dia tahu bagaimana menghadapi karakter anak didiknya satu persatu. Dia tahu cara menangani saya yang pemalu
sekaligus keras kepala ini dengan baik.
Cuma karena bujukan beliaulah saya berani mewakili sekolah sebagai
dokter cilik, atau sebagai duta SKJ (Senam Kesegaran Jasmani).
Beliau juga memberi
kami bimbingan ‘tari jaipongan’ (beliau menyuruh adik kelas yang jago menari
untuk mengajari kami dan beliau mengawasi) karena untuk ujian praktek kesenian,
tiap murid harus menarikan tarian tradisional, dan kami semua kompak memilih
jaipongan. Atau tepatnya kami tak punya
pilihan, dan pak Hidayatlah yang memberi solusi.
Sewaktu pengumuman
kelulusan, beliau rela menyambangi rumah anak didiknya satu persatu, hanya
untuk menyampaikan surat tanda kelulusan serta mengucapkan selamat.
Pak Hidayat adalah ayah kami.
Maka tak heran ketika
tiba masa meninggalkan SD, kami semua murid kelas enam menangis karena harus
meninggalkan pak Hidayat. Harus
meninggalkan ruangan kelas kami yang nyaman.
Harus meninggalkan kebersamaan ini.
Harus meninggalkan keluarga kedua kami.
Saya tak ingat apakah
pak Hidayat ikut menangis ketika kami menyalaminya satu persatu. Mata saya terlalu berkabut untuk melihatnya. Saya cuma ingat bahwa masing-masing kami
memberinya bingkisan kenang-kenangan.
Orangtua saya membungkuskan saya dua helai kain yang mudah-mudahan bisa
beliau jahit menjadi setelan safari sebagai seragam favoritnya.
Memasuki SMP, sebagian
kami berpencar karena diterima di sekolah yang berbeda-beda. Meskipun saya masuk di SMP favorit, tapi
sungguh berat beradaptasi di lingkungan yang sama sekali berbeda ini.
Tak ada yang
mengawasi tugas piket. Tak ada yang
menemani dan membimbing kami seharian dalam kelas, karena di SMP ini tiap mata
pelajaran diajar oleh guru yang berbeda.
Wali kelas kami yang baru terasa jauh di awang-awang. Bahkan semangat belajar saya bisa dibilang
mengendur karena tak ada permainan kuis di akhir jam pelajaran.
Yang utama adalah,
tak ada ruang kelas yang bisa kami sebut ‘rumah’, dan tak ada sosok ayah yang
mengayomi.
Sebenarnya tak ada
yang salah dengan SMP kami, masalahnya mungkin cuma ‘gegar budaya’ dan
adaptasi. Kami tiba-tiba keluar dari
zona nyaman.
Belum lagi kami
terbiasa dengan lingkungan sekolah yang baru, tiba-tiba saja datanglah berita
mengejutkan itu.
Pak Hidayat meninggal, kecelakaan!
Jika selulus SD kami
menangis karena harus meninggalkan pak Hidayat, maka di SMP ini kami kembali dalam
lara karena pak Hidayatlah yang meninggalkan kami. Untuk selamanya.
Masalah beliau wafat
karena kecelakaan mungkin adalah hal yang bisa kami hadapi dengan tabah. Namun kabar miring yang menyebutkan beliau
terlibat skandal adalah sungguh di luar nalar kami, anak-anak belia belasan
tahun yang belum mengenal dunia dan cuma mengenal beliau sebagai sosok idola
tanpa cela.
Belum pulih dari duka
kehilangan pada saat itu, kemudian datang lagi kabar lain. Pak
Hidayat muncul kembali! Kabar itu
muncul begitu mengejutkan di suatu pagi: pak Hidayat tiba-tiba muncul di gerbang
SD kami, memperhatikan murid-murid yang tengah senam pagi. Konon mukanya terlihat bersih bersinar dan
pakaian safarinya tampak licin berkilau.
Ia tersenyum lebar. Lalu kemudian
menghilang.
Saksi dari kejadian ini
adalah seisi sekolah yang tengah berada di halaman!
Kami, mantan muridnya
yang sudah SMP, tentu saja tidak dapat menyaksikan kejadian tsb. Antara percaya tak percaya, namun hal itu
kemudian sempat lama menjadi bahan perbincangan kami. Harap kami semoga saja arwah beliau tenang di
sisiNya.
Aamin.
Namun kelak kami,
atau saya pribadi tepatnya, pun dapat menarik hikmah dari peristiwa
tersebut. Pak Hidayat adalah manusia biasa
yang tak luput dari kesalahan.
Saya berpegang teguh
pada pepatah bijak: hate the sin, love
the sinner. Tak peduli kesalahan apa
yang beliau perbuat di luar predikatnya sebagai guru, kami tetap dapat
merasakan kasih sayang dan dedikasinya yang besar bagi kami para anak didiknya.
Tanpa ragu kami akan
tetap menyayangi dan menghormatinya sebagai guru dan ayah terbaik.