30.7.12

[Xenophobia] Monster

[I]


Namanya Marcell.  Ia adalah hal yang paling tidak diinginkan di muka bumi.  Mungkin.


Terlahir ke bumi dalam situasi dan kondisi dimana hanya Tuhan yang tahu maksudnya.  Dalam tubuhnya mungkin mengalir darah murni peninggalan beberapa generasi di atasnya, namun gen 'kampung' tampak lebih mendominasi penampilan.  Ia tampak aneh dan terasing.  Dan orang-orang selalu melihatnya sebagai 'bukan sesuatu' yang layak diperhatikan atau mungkin bahkan harus dihindari.


Kami pun termasuk dalam golongan kebanyakan yang semula tak mengacuhkan keberadaannya.  Bagaimana tidak, ia selalu tampak merana di sudut ruangan, membuat kami mengira sang majikan pemilik toko tentu menghukumnya karena ia telah berbuat salah.  Atau karena ia jelek.  Bisa saja penampilan lusuhnya membuat calon pembeli enggan mampir.


Setelah beberapa kali kunjungan, perhatian kami mulai terusik ketika sang pemilik toko bilang hendak mendepaknya keluar.  Pada saat itulah kami tersadar bahwa ada makhluk ciptaan Tuhan yang selama ini terabaikan padahal kami selalu lalu lalang di depan hidungnya.


Sapaan ramah dan tepukan di kepala sungguh membuat perbedaan besar.  Bola matanya yang biasanya redup kini mendadak hidup.  Tubuhnya menggeliat, lalu ekornya mulai berkibas.  Terpesona kami, seakan ada suatu energi yang kini menyedot perhatian.  Abaikan penampilan luar, sesungguhnya ia adalah sosok yang menarik dan menggemaskan.


Beberapa lembar rupiah, dan ia pun berpindah tangan.



[II]


Teman saya baru pindah rumah ke daerah pinggiran Jakarta yang padat penduduk.  Sebagai seseorang yang bekerja di bidang desain interior ia bisa menyulap rumah kecilnya menjadi terasa lapang dan nyaman.  Tak lupa dibuatnya sebuah kolam kecil di teras depan dan diisinya dengan sejumlah ikan koi.


Pada suatu hari, didapatinya kolam kecilnya sudah hampa.  Ikan-ikan koi miliknya raib.  Gemercik air mancur cuma menimbulkan riak-riak kosong di kolam yang melompong.  Para tetangga cuma berkata ompong, tiada info yang menolong.  Teman saya pun terbengong-bengong.


Usaha kedua, dibelinya lagi ikan-ikan koi yang baru.


Tak butuh waktu lama, para maling pun dengan senang hati bertandang kembali menguras isi kolam.  Teman saya naik pitam, memaki-maki pagar tembok yang bisu.  Saya tahu, sebenarnya ia tengah mengutuk para pencuri yang dicurigai berasal dari daerah sekitar yang mengetahui kapan rumahnya sedang kosong.


Teman saya kuatir lama kelamaan bukan hanya ikan koi yang dijarah.  Ia tahu ia butuh penjaga.



[III]


Namanya Marcell.  Nama itu meluncur begitu saja dari mulut teman saya.  Beberapa lembar rupiah telah berhasil menyelamatkan Marcell.  Teman saya sedang butuh penjaga, dan menurutnya Marcell paling pantas melakoni tugas ini.


Maka diboyonglah Marcell.  Dibuatkannya pos jaga tepat di balik pagar tembok, agar siapapun kelak yang coba-coba melompat masuk akan mendapat sambutan selamat datang dari sang penjaga.


Usaha yang ketiga, kolam kecil di teras depan rumah teman saya sudah kembali dihuni oleh ikan-ikan koi baru.  Marcell menjalankan tugasnya dengan baik.  Ia memang tak bisa kemana-mana selain mondar-mandir di dalam pos jaga, namun kehadirannya mampu membuat ikan-ikan koi tetap tinggal damai di kolamnya.  Teman saya merawat Marcell dengan baik.  Kini sosoknya lebih gemuk dan penampilannya lebih segar.  Marcell memang galak pada hal yang masih asing baginya, namun di sisi lain ia selalu menyambut siapapun yang dikenalnya dengan ekspresi riang dan ekor yang berkibas-kibas.


Di kemudian hari, datanglah pak RT menemui teman saya (saya tak tahu apakah pak RT datang dengan takut-takut karena disambut dengan galak oleh Marcell).  Pada intinya, beliau menyampaikan keberatan warga atas hadirnya Marcell di lingkungan mereka.  Bahwasanya Marcell telah menakut-nakuti warga dengan 'bunyi peringatan' dari mulutnya.  Bahwa anak-anak jadi takut melewati gang depan rumah karena takut rabies, bahwa ibu-ibu kehilangan tukang sayur dan tukang bakso langganan yang tak berani lewat gang depan rumah, dan (alasan paling bodoh menurut saya) adalah: "Bapak-bapak dan segenap warga jadi tak bisa ke masjid karena harus lewat gang depan rumah.  Bukankah itu jadi haram hukumnya?"


Kemudian balon-balon dialog pun kosong.


Saya bisa bayangkan andaikan ada bunyi jangkrik pastilah derik suara mereka ramai mengiringi percakapan hampa.  Teman saya yang temperamental pastinya sibuk menahan emosi yang hendak meledak.  Pak RT yang salah tingkah pastilah sibuk mencari kata-kata yang lenyap.


Saya sendiri tak habis pikir akan keberatan warga.  Bayangkan, selama ini Marcell berjaga dalam kandang berteralis.  Pos jaganya terletak di dalam halaman berpagar tembok.  Pagar tembok itu cukup tinggi memisahkan Marcell dan gang depan rumah.  Siapapun yang lewat (terutama jika menimbulkan bunyi-bunyi mencurigakan) tentu akan mendapatkan 'alarm peringatan' dari Marcell.  Tapi cuma itu.  Marcell sama sekali tak bisa menyentuh atau mencelakakan siapapun yang lewat gang depan rumah.  Omong kosong jika mereka takut najis, karena Marcell selalu terkurung dalam pos jaganya.  


Lantas darimana fatwa yang menjadikan gang depan rumah ini haram untuk dilewati?  Dimana logika?  Oh, mereka tak perlu logika, melainkan cukup sembarang tafsir dari ayat kitab suci, demikian penuturan teman saya kemudian ketika menceritakan kembali peristiwa itu pada saya.


Lantas apa yang terjadi kemudian, tanya saya penasaran.


Tak ada, kata teman saya.  Saking emosi saat itu, ia malah kehilangan kata-kata.



[IV]


Berhari-hari kemudian, setelah pemikiran panjang dan berdiskusi dengan ibu tercinta dan beberapa teman dekat, akhirnya teman saya pun mengambil keputusan penting.  Marcell harus keluar.  Supaya gang depan rumah kembali steril dan (sungguh rasanya berat untuk menuliskan hal ini) tidak haram untuk dilewati warga.


Menurut saya, warga sekitar belum terbiasa dengan sosok asing seperti Marcell.  Ketakutan mereka semu, rasa ngeri yang bahkan belum jelas ancamannya apa.  Akibat paranoid berlebih itulah warga pun mencari cara menyingkirkan 'monster' tsb dari hidup mereka (padahal saya yakin sebagian besar dari mereka belum pernah melihat penampakan sang 'monster' yang aslinya mungil tsb, melainkan hanya mendengar suaranya sesekali saja).  Jika Marcell cuma galak di awal dan jinak kemudian, maka warga sekitar ini takut di awal dan malah menghakimi kemudian tanpa mencari tahu lebih lanjut.  Tak ubahnya sebuah twit nyinyir yang malah di-amin-i massa tanpa mencari tahu latar belakangnya.  Dan itu menjadikan mereka seakan-akan lebih 'monster' dibandingkan Marcell sendiri.


Bagaimanapun, teman saya tak ingin rumahnya dikepung dan dirusak massa jika ia berkeras mempertahankan Marcell.  Dalam hal ini, ia harus bertoleransi lebih dan lebih dengan warga sekitar (meskipun sebenarnya ia ingin meledak atas ketidakadilan ini).  Yang waras ngalah, demikian petuah sang ibu.  Perkara ini butuh toleransi, bukan emosi.


Beruntung ada seorang teman lain yang tak keberatan menampung Marcell.  Kami masih bisa mengunjunginya kapanpun.  Teman saya sampai bertekad bahwa kelak ia akan pindah rumah ke lingkungan yang lebih bertoleransi tinggi sehingga dapat berkumpul kembali dengan Marcell.


Sepeninggal Marcell, teman saya pun menyingkirkan ikan-ikan koi dari kolam, lalu memasang alarm elektronik di segenap penjuru rumah.  Alarm elektronik memang tak bisa diajak berinteraksi, namun setidaknya cuma itu usaha maksimal yang bisa ia lakukan.



[V]


Namanya Marcell.  Sepertinya ia memang harus menerima nasib menjadi hal yang paling tidak diinginkan di muka bumi.  Dimanapun.


Suatu hari kabar buruk itu datang.  Marcell ditemukan terbaring kaku dengan mulut berbusa.  Ia mati diracun.  


Siapakah monster sebenarnya, Marcell?


Sedih kami tak terperi, mengingat jalan hidup Marcell yang (hampir) selalu berada dalam kemalangan.  Namun di sisi lain ada lega terbersit, karena sosok kami pernah terpantul di bola matanya yang berbinar-binar, walau cuma singkat saja.  Mungkin sudah saatnya kini ia menemukan tempat di atas sana dimana ia merasa diinginkan.  Semoga.




Marcell sekilas wajah (foto koleksi pribadi)




Written based on true story for the writing competition about [Xenophobia]


14.7.12

Sukabumi | Pondok Halimun



PONDOK Halimun ini bukan tempat bernaung melainkan sebuah lembah berkabut di kaki gunung Gede-Pangrango.  Sebelum mencapai Selabintana, Sukabumi, kita harus berbelok arah mengikuti matahari terbit.  Jalan berliku dan berlubang menuju ketinggian.  Pucuk-pucuk daun teh selalu basah oleh halimun berembun.

Tatkala surya tlah di pucuk kepala, halimun menghilang dan yang terhampar adalah bukit-bukit bergelombang dan pemandangan kota Sukabumi nun di kejauhan sana.  Sungai bergemercik dengan airnya yang bening dan dingin.  Rasanya inilah air sungai terdingin yang pernah saya sentuh: begitu mencelupkan kaki ke sungai maka kaki langsung terasa pegal dan seperti kesemutan, tak lama kemudian tulang kaki akan terasa ngilu.  Bernyalikah saya mandi-mandi di sungainya?  Kita lihat kelak.

Pondok Halimun selain mempunyai jalur trekking, terdapat pula area bumi perkemahan dan tempat konservasi elang jawa.  Pun bisa terlihat beberapa ekor elang terbang berputar-putar di atas pucuk pepohonan tertinggi.

Rasanya tak cukup cuma sesaat menghabiskan waktu di tempat ini.  Lain kali harus mencumbu halimunnya dan membasahkan tubuh di sungainya.  Siapa berani?





All pictures in this album are copyrighted © 2012 duabadai.blogspot.com
All rights reserved.

9.7.12

Sátántangó

Rating:★★★★★
Category:Movies
Genre: Drama
INI bukan film tentang setan, tapi memang ungkapan yang tepat setelah menontonnya adalah: SETAN!  Luar biasa terperdaya dan teraniaya luar binasa.  Tak pernah terpikir sebelumnya jika saya bakal sanggup menonton film berdurasi TUJUH JAM nonstop, dimana sensasi setelah meyaksikannya adalah cuma duduk terhenyak.  Tired yet mesmerized.



Directed & screenplay by  Béla Tarr 
Based on novel by   
      László Krasznahorkai 
Starring      
            Mihály Vig as Irimiás 
              
            Éva Almássy Albert as Schmidtne 
              
            Erika Bók as Estike 
Music by      
            Mihály Vig  
Cinematography            Gábor Medvigy 
Running time              450 min
Country                   Hungary, Germany, Switzerland
Language                  Hungarian


Alkisah tersebutlah sekelompok penduduk di sebuah desa miskin di Hongaria yang hendak hijrah dan mencari penghidupan yang lebih baik.  Rencana tak berjalan mulus karena pemunculan kembali tokoh Irimiás yang dianggap sudah hilang sebelumnya.


Salah satu adegan awal adalah sebuah jendela yang menampakkan pemandangan desa yang jemu, kelabu, suram.

...

Semenit kemudian adalah sebuah jendela yang menampakkan pemandangan desa yang jemu, kelabu, suram.

...

...

...

Bermenit-menit selanjutnya adalah sebuah jendela yang menampakkan pemandangan desa yang jemu, kelabu, suram.


Can you imagine how depressive it was?  Sang sutradara Béla Tarr berhasil membawa penonton ke dalam pengenalan situasi yang sama persis seperti yang dialami oleh tokoh cerita dalam film: merasa jenuh dan depresif.  Dan ini baru menit-menit awal.


Tarr banyak menghadirkan long shot yang masing-masing berdurasi 7 hingga 10 menit hanya untuk menyampaikan sebuah adegan.  Menyaksikannya mungkin seperti mengamati sebuah lukisan, kita dibiarkan untuk mengamati satu persatu obyek yang ada di layar, dan membiarkan imajinasi bermain di dalamnya.  Ia seakan menghipnotis.


Di saat penonton mungkin sudah nyaris (mati) kebosanan karena adegan yang monoton dan senyap, dengan semena-mena Tarr memasukkan unsur musik yang gaduh dan tidak harmonis.  Ketukan yang berulang-ulang dan menyiksa pendengaran.  Bagi saya ini mencekam, sama horornya seperti musik latar film Pengkhianatan G30S yang masih mampu bikin bulu kuduk berdiri. 


Lagi-lagi Tarr berhasil menyiksa penonton.  Ia memaksa kami merasakan apa yang sekiranya dirasakan oleh para tokoh cerita: tersiksa dan ingin keluar dari penderitaan.


Tapi sungguh saya tak bisa mengalihkan pandangan dari layar.  Ada beberapa adegan lain yang saya anggap golden scene karena sungguh-sungguh menancap dalam benak (saya hanya menuliskan sebagian karena tak mau tulisan ini berisi spoiler semata).


adegan baskom
Long shot menampakkan baskom yang tergeletak di lantai gelap.  Terdengar suara ranjang berderit.  Tebaklah apa peran serta si baskom dalam adegan ranjang yang sama sekali tak menampilkan ranjang tsb?


adegan dansa
Sebelum hijrah, para penduduk berkumpul di bar dan menari tango.  Ini adalah adegan yang bikin saya menjura.  Belum pernah dalam satu scene saya dibuat terkagum-kagum sekaligus terpusing-pusing karena harus memilih tokoh mana yang harus saya amati lebih dulu (karena masing-masing menampilkan gerakan/kegiatan unik).  Epic!

Tapi satu hal yang paling menarik perhatian saya adalah karakter Schmidtne (bahkan saya bisa mencium bau alkohol dan keringat lembab dari blus longgarnya) dimana ketika ia menari tango semakin lama (maaf) puting payudaranya tampak semakin menonjol.  Maafkan jika saya salah, tapi saya berharap penglihatan saya benar adanya.  She's getting hard in every move! 

Belakangan Tarr mengakui jika para pemeran yang berdansa dalam adegan tango setan itu adalah dalam keadaan mabuk.


adegan kucing
Seekor kucing disiksa oleh anak kecil bernama Estike dengan cara-cara di luar perikekucingan.  Saya suka adegan sadis, apalagi yang terlihat nyata (dan saya curiga bahwa adegan ini adalah nyata adanya tanpa special effects).  

Benar saja scene ini memang sempat menuai protes, namun Tarr berkilah bahwa sang kucing (yang merupakan hewan peliharaannya sendiri) itu dalam kondisi "baik-baik saja".


adegan jalan
Estike berjalan tergesa-gesa di jalan berlumpur sambil menggendong mayat kucing.  Wajahnya tampak dingin dan tatapan matanya menusuk.  Saya perhatikan bahkan Estike sama sekali tidak pernah berkedip selama kamera menyorot wajahnya!  Benar-benar "bocah setan", saya salut sama pemerannya!

Setelah berjalan sejauh itu, Estike pun melakukan sesuatu yang membuat saya berbalik menjadi iba pada dirinya.  Sesungguhnya ia cuma bocah kesepian. 


Tarr mengadaptasi film ini dari novel debut berjudul sama karya László Krasznahorkai.  Sang penulis gemar berpanjang lebar dalam mendeskripsikan cerita.  Adegan awal film ini pada intinya hanyalah sebuah kalimat sederhana "One morning, Futaki woke to hear bells".  Tapi coba simak apa yang sesungguhnya tertulis di novelnya:

One morning near the end of October not long before the first drops of the mercilessly long autumn rains began to fall on the cracked and saline soil on the western side of the estate (later the stinking yellow sea of mud would render footpaths impassable and put the town too beyond reach) Futaki woke to hear bells.

Beruntung sang sutradara tak kalah brilian dalam mengejawantahkan maksud sang penulis dalam bentuk gambar bergerak.  Viva long shots!  


Watching this movie was such a mental experience for me.  Saya mungkin takkan sanggup menonton ulang film ini secara utuh, terlalu melelahkan (kecuali jika dibagi per segmen, misalnya).  Namun bahkan hanya dengan sekali menontonnya, saya masih bisa mengingat banyak detail adegan di dalamnya. Sungguh mengesankan.  Bagaikan saya sendirilah salah satu tokoh cerita dalam film tsb.


Ini bukan film bagus yang bisa jadi favorit semua orang, tapi ini film jenius.  Ini adalah sebuah tantangan. Dan saya bangga pernah menyaksikannya, utuh.  Hail to Béla Tarr!