25.11.12

Hidayah Pak Hidayat


Apa rasanya jika guru kesayangan kita wafat dengan kabar miring mengiringi kepergiannya?  Tentu menyakitkan.

Hari itu (lebih dari satu dekade lalu) kami berkumpul di salah satu sudut kelas, sebagian menangis.  Gedung sekolah ini masih asing bagi kami, anak-anak angkatan baru di sebuah SMP negeri.  Kami yang tengah berkabung di sini adalah alumni sebuah sekolah dasar yang sama, dan baru saja mendengar kabar wafatnya guru SD kesayangan kami karena kecelakaan lalu lintas.

Salah satu teman kami, Ningsih, bahkan sudah bengkak matanya, padahal pipinya sendiri sudah tembam.  Tapi ia masih bisa bercerita jika pak Hidayat (demikian nama guru kesayangan kami) mendapat kecelakaan seusai bertengkar dengan istrinya.  Konon ada pihak ketiga yang mengganggu keharmonisan rumah tangga mereka.

Saya tak kuasa menangis, air mata saya tiada, tapi di dalam hati saya ada rasa nyeri tak terperi.  Pedih.  Kami hanyalah anak-anak lugu yang baru beranjak remaja (bahkan saya sendiri belum mengalami pubertas pada saat itu).  Tak heran jika kejadian tsb sungguh mampu membuat perasaan kami terguncang.

Rasa sedih kami mungkin berlipat ganda.  Satu, kehilangan sosok idola.  Dua, kehilangan keidolaan pada sosok tersebut (di mata kami pada saat itu pak Hidayat adalah seorang yang sempurna tanpa cela).  Dan terakhir, kejadian ini membuat kami semakin merasa kehilangan saat-saat indah semasa sekolah dasar dulu (sungguh kami benci dan belum terbiasa dengan suasana di SMP ini).

Mari kembali ke masa sekolah dasar.  Gedung sekolah kami terletak di samping kebun lebat berpohon durian dan nangka dan bersarang semut rangrang.  Jika tiba musim buah, kami harus waspada akan ketiban durian atau nangka, dalam arti sebenarnya.  Pernah salah seorang adik kelas jatuh pingsan ketika sebuah nangka besar jatuh dari pohon, menembus genting dan plafon sekolah dengan suara BRAAAK, lalu menimpa dirinya yang tak sempat menghindar.

Tapi peristiwa nahas itu cuma terjadi sekali, dan selebihnya kami malah lebih sering mengambil keuntungan dari buah-buahan yang matang di kebun sebelah.  Pemilik kebun ini adalah salah seorang penduduk setempat, dan beliau selalu bermurah hati membagi hasil kebunnya dengan kami.

Pak Hidayat adalah wali kelas enam, dan inilah keberuntungan yang sesungguhnya karena kami bisa berada di bawah asuhan beliau.

Kekaguman saya pada beliau sudah terpateri sejak saya mendapat piagam penghargaan setiap kenaikan kelas.  Tiap lembar piagam ditulis tangan dengan indah olehnya sendiri.  Tulisannya bak seni kaligrafi.

Salah satu inspirasi paling dini yang saya dapatkan dari beliau adalah bagaimana mendapatkan tulisan tangan yang setidaknya bisa dibilang bagus.  Saya paling rajin berlatih dengan buku menulis halus, dan walaupun kemudian tulisan tangan saya tak seindah tulisan pak Hidayat yang berukir-ukir, tapi setidaknya tulisan tangan saya semasa sekolah jauh lebih bagus dari masa sekarang.  Terbukti saya selalu ditunjuk menjadi sekretaris kelas dari SD hingga kuliah (walaupun terkadang saya enggan karena sering diledek, “Sekretaris kok tak pakai rok mini?”).

Selain wali kelas enam, pak Hidayat adalah juga guru agama (mungkin sedikit banyak beliau belajar ilmu kaligrafi berkat profesinya ini).  Pak Hidayat adalah mentor rohani kami sekelas dan sesekolah.  Jangan bayangkan beliau sebagai kakek-kakek bersurban dan berjanggut putih, salah besar.  Ia adalah seorang bapak muda yang gagah, berwajah klimis dengan rambut yang selalu licin berminyak, serta gemar mengenakan setelan safari full-pressed-body.  Pembawaannya riang dan humoris, namun juga tegas.

Usai jam pelajaran sekolah, pak Hidayat selalu mengadakan kuis.  Ia akan melontarkan sebuah pertanyaan (yang membutuhkan jawaban panjang atau detail), lalu siapapun yang mengacungkan tangan terlebih dahulu dipersilakan menjawab pertanyaan tsb di depan kelas.  Jika sang murid bisa menjawabnya dengan tepat, maka murid-murid lain yang duduk satu lajur dengannya boleh meninggalkan kelas terlebih dahulu.  Dan jika sang murid mendapat kesulitan dalam menjawab pertanyaan, maka murid-murid yang duduk satu lajur dengannya diperbolehkan membantu.

Saya masih ingat ketika kuis ini perdana digelar, sayalah yang mendapat kesempatan pertama maju ke depan kelas.  Pertanyannya mudah saja: sebutkan masing-masing hasil perkalian 1 sampai dengan 10.

1 x 1 = 1, 1 x 2 = 2, dst saya ucapkan dengan lantang.  Setelah 1 x 10 = 10 saya berhenti lalu melirik pak Hidayat.

Beliau tertawa lalu bilang, “Teruskan ke perkalian 2, lanjut hingga perkalian 10.”

Oh, saya kira sudah selesai, ternyata masih banyak hasil perkalian yang harus diucapkan.  Beruntung saya sudah hafal.  Tanpa ragu saya kembali mengucapkan hasil perkalian dengan lantang.

Memasuki perkalian 7 ke atas mulut saya sudah kering sehingga beberapa kali ucapan saya tersendat.  Pak Hidayat tertawa melihat saya acap kali menelan ludah untuk melumasi tenggorokan.  Mungkin dikiranya saya bakal menyerah, tapi tak akan.

Pada akhirnya saya berhasil menunaikan tugas dengan sempurna.  Gegap gempita seisi kelas merayakan keberhasilan tugas perdana ini, dan saya nyaris merasa bagaikan pahlawan yang sedang dielu-elukan.

Kuis seperti ini selalu diadakan setiap hari, materi pertanyaannya pun acak dari semua mata pelajaran, sehingga mau tak mau membuat kami harus selalu siap sedia setiap saat.  Kami jadi lebih giat belajar, jauh lebih tekun dibandingkan semasa kelas satu hingga kelas lima dahulu.

Lantas apakah setelah kuis maka kami bisa langsung pulang?

Jangan senang dulu, tergantung jadwal piket kebersihannya.  Jika di kelas lain jadwal piket cuma dilakukan sekedarnya di pagi hari, maka pak Hidayat menyuruh kami kelas enam bertugas piket dua kali dalam sehari, yakni sebelum dan seusai jam sekolah.

Jika biasanya tugas piket hanya terdiri atas menyapu kelas dan membersihkan papan tulis, maka di bawah pengawasan pak Hidayat deretan tugas kami bertambah.  Meja-meja dilap sementara laci-laci dibersihkan.  Kursi-kursi dibersihkan lalu dinaikkan ke atas meja.  Lantai disapu hingga bersih kemudian di-pel (airnya kami timba sendiri dari sumur di kebun).  Pintu dan jendela dilap, termasuk kaca jendela yang dibersihkan dengan kertas koran basah.  Papan tulis dibersihkan dengan lap basah, kapur tulis diganti dengan yang baru, penghapus dibersihkan dari debu.  Taplak meja guru bila perlu diganti dengan yang bersih (sementara taplak meja yang kotor dibawa pulang untuk dicuci).  Gelas minum guru dan vas bunga harus diganti airnya setiap hari.  Bunga-bunga segar dipetik setiap pagi dari pekarangan sekolah dan ditaruh di vas bunga.

Semua ini kami lakukan dua kali dalam sehari.

Hasilnya suasana kelas kami selalu apik resik, semarak oleh harum bunga.  Lantai kelas pun bersih dan licin karena selalu di-pel dua kali sehari, bahkan untuk duduk atau tidur-tiduran di lantai pun terasa nyaman.

Bukan cuma ruang kelas, bahkan koridor di depan kelas kami pun turut bersih cemerlang.  Sungguh nyata terlihat perbedaannya dengan koridor kelas lain yang kotor.

Tanpa disuruh, akhirnya menjadi adat kebiasaan kami (para murid, guru, dan bahkan kepala sekolah) untuk selalu membuka sepatu sebelum melangkahi koridor kelas enam dan masuk ke dalam ruang kelasnya.

Kedisiplinan pak Hidayat dalam menjaga adab kebersihan ini sungguhlah menjadi suri tauladan bagi kami dan seisi penghuni sekolah.

Saya pribadi bahkan merasakan hal positif lain, yaitu munculnya sense of belonging.  Kami semua merasakan inilah ruangan kami.  Kelas kami adalah rumah kami.  Nyaman dan menyenangkan.

Sebagai wali kelas, pak Hidayat juga mampu mengayomi kami.  Dia tahu bagaimana menghadapi karakter anak didiknya satu persatu.  Dia tahu cara menangani saya yang pemalu sekaligus keras kepala ini dengan baik.  Cuma karena bujukan beliaulah saya berani mewakili sekolah sebagai dokter cilik, atau sebagai duta SKJ (Senam Kesegaran Jasmani).

Beliau juga memberi kami bimbingan ‘tari jaipongan’ (beliau menyuruh adik kelas yang jago menari untuk mengajari kami dan beliau mengawasi) karena untuk ujian praktek kesenian, tiap murid harus menarikan tarian tradisional, dan kami semua kompak memilih jaipongan.  Atau tepatnya kami tak punya pilihan, dan pak Hidayatlah yang memberi solusi.

Sewaktu pengumuman kelulusan, beliau rela menyambangi rumah anak didiknya satu persatu, hanya untuk menyampaikan surat tanda kelulusan serta mengucapkan selamat.

Pak Hidayat adalah ayah kami.

Maka tak heran ketika tiba masa meninggalkan SD, kami semua murid kelas enam menangis karena harus meninggalkan pak Hidayat.  Harus meninggalkan ruangan kelas kami yang nyaman.  Harus meninggalkan kebersamaan ini.  Harus meninggalkan keluarga kedua kami.

Saya tak ingat apakah pak Hidayat ikut menangis ketika kami menyalaminya satu persatu.  Mata saya terlalu berkabut untuk melihatnya.  Saya cuma ingat bahwa masing-masing kami memberinya bingkisan kenang-kenangan.  Orangtua saya membungkuskan saya dua helai kain yang mudah-mudahan bisa beliau jahit menjadi setelan safari sebagai seragam favoritnya.

Memasuki SMP, sebagian kami berpencar karena diterima di sekolah yang berbeda-beda.  Meskipun saya masuk di SMP favorit, tapi sungguh berat beradaptasi di lingkungan yang sama sekali berbeda ini.

Tak ada yang mengawasi tugas piket.  Tak ada yang menemani dan membimbing kami seharian dalam kelas, karena di SMP ini tiap mata pelajaran diajar oleh guru yang berbeda.  Wali kelas kami yang baru terasa jauh di awang-awang.  Bahkan semangat belajar saya bisa dibilang mengendur karena tak ada permainan kuis di akhir jam pelajaran.

Yang utama adalah, tak ada ruang kelas yang bisa kami sebut ‘rumah’, dan tak ada sosok ayah yang mengayomi.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan SMP kami, masalahnya mungkin cuma ‘gegar budaya’ dan adaptasi.  Kami tiba-tiba keluar dari zona nyaman.

Belum lagi kami terbiasa dengan lingkungan sekolah yang baru, tiba-tiba saja datanglah berita mengejutkan itu.

Pak Hidayat meninggal, kecelakaan!

Jika selulus SD kami menangis karena harus meninggalkan pak Hidayat, maka di SMP ini kami kembali dalam lara karena pak Hidayatlah yang meninggalkan kami.  Untuk selamanya.

Masalah beliau wafat karena kecelakaan mungkin adalah hal yang bisa kami hadapi dengan tabah.  Namun kabar miring yang menyebutkan beliau terlibat skandal adalah sungguh di luar nalar kami, anak-anak belia belasan tahun yang belum mengenal dunia dan cuma mengenal beliau sebagai sosok idola tanpa cela.

Belum pulih dari duka kehilangan pada saat itu, kemudian datang lagi kabar lain.  Pak Hidayat muncul kembali!  Kabar itu muncul begitu mengejutkan di suatu pagi: pak Hidayat tiba-tiba muncul di gerbang SD kami, memperhatikan murid-murid yang tengah senam pagi.  Konon mukanya terlihat bersih bersinar dan pakaian safarinya tampak licin berkilau.  Ia tersenyum lebar.  Lalu kemudian menghilang.

Saksi dari kejadian ini adalah seisi sekolah yang tengah berada di halaman!

Kami, mantan muridnya yang sudah SMP, tentu saja tidak dapat menyaksikan kejadian tsb.  Antara percaya tak percaya, namun hal itu kemudian sempat lama menjadi bahan perbincangan kami.  Harap kami semoga saja arwah beliau tenang di sisiNya.

Aamin.

Namun kelak kami, atau saya pribadi tepatnya, pun dapat menarik hikmah dari peristiwa tersebut.  Pak Hidayat adalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.

Saya berpegang teguh pada pepatah bijak: hate the sin, love the sinner.  Tak peduli kesalahan apa yang beliau perbuat di luar predikatnya sebagai guru, kami tetap dapat merasakan kasih sayang dan dedikasinya yang besar bagi kami para anak didiknya.

Tanpa ragu kami akan tetap menyayangi dan menghormatinya sebagai guru dan ayah terbaik.