Pandanglah
segelas air di hadapan. Apakah yang terlintas dalam benak? Adakah yang
terbersit walau sekilas, ataukah cuma hampa saja?
Sejak kecil
saya sudah tertarik dengan sejarah suatu benda, bahkan termasuk asal
muasal air yang saya minum. Tatkala saya haus dan kemudian ibu
menuangkan air dalam gelas, maka saya akan bertanya darimana air minum
berasal. Ibu akan bilang kalau air minum ini berasal dari air sumur
yang sudah dimasak. Air sumur datang darimana, tanya saya lagi. Dari
dalam tanah, kata ibu. Sebelum saya menjadi terlalu cerewet kemudian
beliau melanjutkan penjelasannya. Bahwasanya air dalam tanah berasal
dari hujan. Dan hujan berasal dari awan. Awan berasal dari penguapan
air di bumi. Uap air berasal dari lautan, sungai, pepohonan, dll. Dan
seterusnya, dan seterusnya, dimana kelak saya menyadari bahwa itulah
pemahaman dasar mengenai siklus air.
Tetapi sebenarnya bukan
sekedar siklus air tadi yang menjadi kepenasaranan saya. Beranjak
dewasa, ketertarikan saya akan sejarah suatu benda ternyata lebih
terdefinisi. Saya lebih tertarik mencari tahu pengalaman atau experience suatu benda ketimbang asal muasalnya.
Siklus
air adalah lingkaran yang tak putus. Seperti kita tahu, lingkaran tak
mempunyai ujung awal ataupun akhir. Konstan. Air adalah konstanta yang
sudah ada jauh sebelum cikal bakal kehidupan di bumi terbentuk. Selama
berjuta tahun sudah air bergerak dalam siklusnya. Ia memberkati bumi
dengan curah hujan. Lalu menghidupinya dengan nutrisi. Ia mengalami
penyulingan lewat proses penguapan atau evaporasi. Demikian terus
berulang dalam volume yang relatif sama. Dengan kata lain, air yang
kita minum sekarang adalah air yang sama dengan yang sudah ada sejak
awal penciptaan. Tidakkah hal itu menakjubkan?
Fakta inilah yang menggairahkan saya. Air adalah saksi kehidupan di bumi.
Tataplah
segelas air di hadapan. Benak anda kini pasti membayangkan
pengembaraan sang air. Sudah seberapa jauh ia berkelana dari masa ke
masa? Sudahkah ia turun di seluruh pelosok bumi? Siapa sajakah legenda
dunia yang pernah ia sapa dalam rinainya--ia basuh dalam basahnya--ia
segarkan dalam teguknya? Adakah ia menyimpan ingatan zaman purba dalam
molekul-molekulnya?
Kemudian dari sebuah selebaran di kedai vegetarian, saya mengenal pula istilah water footprint alias jejak air. Water footprint kadang disebut pula virtual water,
ialah jumlah air yang digunakan dalam keseluruhan produksi dan/atau
pertumbuhan suatu produk. Sebagai contoh, 1 kg daging sapi mempunyai
jejak air sebanyak 16 ribu liter. Jumlah air sebanyak itulah yang telah
digunakan untuk membesarkan, merawat, memberi makan si sapi hingga
akhirnya dikirim ke rumah jagal untuk dijadikan daging siap santap
seberat 1 kg. Padahal seekor sapi utuh bisa menghasilkan daging hingga
ratusan kg. Jadi hitung sendiri berapa total jejak air yang dibutuhkan
(belum ditambah dengan jejak karbon yang dilepaskan di udara).
Selebaran
yang saya baca ini sungguh menyampaikan informasinya secara cerdas
bernas. Tujuannya tidak memprovokasi orang supaya beralih menjadi
vegetarian, namun lebih mengusik kesadaran pembaca untuk bertindak lebih
bijak. Makanlah dalam porsi cukup agar tiada yang tersisa, supaya
jejak air yang ada dalam makanan itu pun tak terbuang sia-sia. Tahukah anda, bahkan selembar selebaran yang saya baca ini mempunyai jejak air sebanyak 10 liter.
Saya kemudian menyesap secangkir teh yang sudah dipesan. Secangkir teh mempunyai jejak air sebanyak 35 liter. Saya ambil ponsel lalu menyebarkan info ini lewat kicauan dunia maya. Microchip dalam ponsel saya mempunyai jejak air sebanyak 32 liter.
Selembar
selebaran di kedai vegetarian tsb membukakan mata saya yang selama ini
abai. Bahwa air adalah penunjang unsur kehidupan, ia mematri jejaknya
dalam berbagai unsur bahkan hingga ke benda padat dan mungil seperti microchip sekalipun.
Mari
kembali pada segelas air di hadapan. Sudah bersyukurkah anda hari
ini? 97.5% total volume air bumi terdapat di lautan, sisanya yang
berupa air segar tersembunyi dalam lapisan es, dalam endapan tanah, dan
cuma sekitar 0,1% saja air segar yang bisa diakses manusia secara
langsung.
Tak heran jika masih terdapat kurang lebih 1 milyar
manusia yang tak punya akses air minum bersih. Jarak berkilometer harus
ditempuh demi mendatangi sumber air. Itu pun tak selamanya yang
tersedia adalah air bersih karena terkadang sudah bercampur lumpur atau
kotoran.
Pernah semasa sekolah dan tengah dalam pelantikan
pasukan paskibra, saya dan teman-teman digembleng berjam-jam di bawah
terik matahari. Usai pelatihan, kelelahan dan kehausan, kami disuruh
tetap berdiri dalam barisan, lalu sang pembina memberi kami sebotol air
minum yang harus dibagi beramai-ramai untuk seluruh regu. Sebotol air
minum ukuran sedang harus habis dibagi kepada puluhan mulut yang
dahaga. Ini bukan tentang penyiksaan, namun tentang berbagi.
Bergantian, satu persatu kami pun mewadahi air dengan tutup botol.
Hanya
seteguk kecil yang mengaliri tenggorokan. Namun terdapat perbedaan
besar bagi tubuh kaku dan mulut kelu. Kami ingin tegukan berikutnya,
lagi dan lagi. Mungkin di bawah sadar, kami tak ingin mati kehausan. Tahukah
anda bahwa manusia bisa bertahan hidup tanpa makanan hingga sebulan
lamanya, namun hanya bisa bertahan hidup tanpa air selama 5-7 hari saja?
Namun masih ada beban yang harus ditanggung bersama oleh kami saat
itu. Belum pernah seumur hidup saya memandangi botol minum itu
berpindah tangan dari satu ke yang lain dengan penuh kesyahduan.
Akhirnya
anggota regu terakhir berhasil mendapatkan jatahnya. Seteguk kecil
penghabisan. Dan ia pun menangis. Bagai merambat cepat, isak haru
mulai bermunculan.
Prosesi selesai, dan barisan dibubarkan.
Masing-masing kami mendapat jatah air minum segar yang sebenarnya.
Berlimpah. Rindu kami padamu, wahai air!
Saya pun mungkin menangis. Entahlah.
Air
adalah penghargaan hidup, dan kami sungguh menghargai keberadaannya
sejak itu. Kami tahu masih banyak saudara-saudara kecil di berbagai
pelosok negeri dan bumi yang masih kesulitan mendapatkan air bersih.
Mereka berkorban waktu sekian jam setiap hari hanya demi perjuangan
mendapatkan air yang bahkan tak layak minum. Waktu sekian jam terbuang
percuma yang seharusnya bisa dimanfaatkan mereka untuk bermain, belajar,
dan beristirahat. Waktu sekian jam yang terbuang seharusnyalah
digunakan mereka untuk menikmati hidup.
Segelas air di hadapan anda adalah berkah Tuhan yang paling besar.
Beruntung
masih banyak manusia & lembaga yang peduli akan krisis air bersih
ini. Bantuan layanan sosial diberikan, seperti pembuatan pompa air
hingga layanan pendidikan/edukasi tentang air bersih bagi penduduk di
daerah terpencil. Adalah tanggung jawab bersama pula untuk menggunakan
air bersih secara lebih bijak dan bertanggung jawab.
Air adalah kehidupan itu sendiri.
rujukan data:
www.aqua.com
www.abc.net.au/water
www.unwater.org
31.1.13
7.1.13
The Quest Of Femidom
Perempuan
itu termangu begitu saya bertanya, “Mbak, apa disini jual femidom?”
Drugstore yang saya datangi ini sungguhlah mentereng dengan pencahayaan maksimal
sehingga saya bisa melihat kilasan ragu di mata si pramuniaga. Ada jeda sebelum jawab. “Adanya fungiderm, Mas.”
Akhirnya, sambil
menahan senyum, saya jelaskan padanya bahwa femidom adalah ‘kondom untuk
perempuan’. Si mbak pun (dengan mulut
membentuk huruf o kecil) kemudian menugaskan salah satu rekannya yang langsung memandu saya menuju deretan rak yang penuh
oleh produk kondom beragam merk. "Biasanya ada merk impor, Mas."
Tapi ternyata tiada
penampakan barang yang dimaksud.
“Kalau begitu pakai
pelumas atau ring penggetar saja, Mas,” usul si mbak.
Sungguh disayangkan jika ada pemikiran bahwa kondom itu hanya sebagai alat bantu seksual yang bisa
digantikan oleh pelumas atau ring penggetar, dan bukannya sebagai alat
kontrasepsi (apalagi sebagai pencegah penyakit menular seksual). Saya hampir saja mau bilang: 'saya prihatin'.
“Kondom perempuan
kemasannya seperti apa, Mbak?” tanya saya kemudian sambil memindai seisi rak
dengan seksama. “Biasanya kisaran harganya berapa?”
Mbak itu tampak tak
tertarik lagi dengan pertanyaan saya.
“Sebentar, Mas...” Ia pun berlalu
dan tak muncul kembali. Saya coba tunggu
beberapa lama, namun dirinya tak berpaling lagi pada saya. Mungkin dipikirnya saya cuma main-main.
Saya serius ingin
tahu.
Awalnya adalah
momen Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember 2012 lalu, pada saat
pencanangan Pekan Kondom Nasional untuk keenam kalinya oleh DKT Indonesia bersama
dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Pekan Kondom Nasional 2012 beragendakan antara lain konser musik, edukasi HIV/AIDS di 12 kota besar,
penyediaan kondom dan lubrikan di sebuah klinik di Bali, hingga lomba foto dan
menulis bagi blogger dan jurnalis.
DKT Indonesia sendiri adalah sebuah
perusahaan sosial marketing yang bergerak dalam bidang perencanaan keluarga dan
pencegahan HIV/AIDS. Berdiri di Indonesia
sejak 1996, DKT sudah mendistribusikan lebih dari 1 milyar kondom.
Fakta tersebut sempat
membuat saya terperangah. Pemakaian
kondom yang tepat dapat menangkal penularan HIV secara efektif hingga lebih
dari 95%. Dan semilyar lebih penyebaran kondom
bukanlah hal yang remeh temeh, karena pastinya sudah banyak membantu dalam hal
pencegahan penularan penyakit menular seksual khususnya HIV/AIDS.
Bayangkanlah seperti film
animasi, dimana kondom-kondom sebanyak itu tersebar di udara dan berjatuhan di
seluruh pelosok negeri. Hujan latex
dalam kemasan. Keemasan. Kemudian saya menyadari sesuatu. Saya kesulitan membayangkan bentuk kemasan
dari kondom perempuan. Hal ini mengganggu saya.
Sampailah saya pada
kesadaran bahwa selama ini tiada pernah memperhatikan atau menyadari
keberadaan alat kontrasepsi yang satu itu.
Bahkan sepertinya kata ‘femidom’ tak pernah muncul dalam kosakata
pergaulan saya dengan teman-teman.
Jujur baru kali
ini saya peduli untuk mengetikkan kata ‘femidom’ atau ‘female condom’ pada
kolom pencarian di internet. Keajaiban
dunia maya sungguh tanpa batas. Akhirnya
bertemulah saya dengan femidom (thanks to Youtube).
Ternyata kondom perempuan ini panjangnya hampir sama dengan kondom
lelaki, hanya saja lebih lebar dengan ring lunak di kedua ujungnya. Cara pemasangannya pun cukup mudah (jika
dilihat dari video peraga, silakan cari sendiri).
Ada banyak
kelebihan femidom yang dipaparkan. Antara
lain bebas alergi & iritasi, tidak mudah bocor, dan dapat mengurangi rasa
sakit akibat ‘kekeringan vagina’ (khususnya bagi yang mengalami
menopause). Femidom dapat mencegah terjadinya ‘interupsi’ pada saat
memulai hubungan intim (karena sang lelaki harus memasang dulu kondomnya). Kelebihan lain adalah pengamanan ekstra dari
ring luar femidom yang mampu melindungi area luar kelamin wanita dari gesekan
pangkal penis (dimana area inilah yang paling rentan kemasukan kuman/virus).
Lalu dari sekian
banyak keunggulan tadi, mengapa kondom perempuan seperti tak terdengar
kiprahnya di Indonesia?
Karena
keterbatasan dana dan waktu, saya pun mengambil sampel acak dari kalangan teman
sendiri (kebetulan semuanya adalah penggiat social media pengguna Apple atau
Android, yang sedikit banyak mengindikasikan latar belakang ekonomi dan
pendidikan). Adapun hasil yang didapat
adalah sbb:
3 dari 10 responden tidak
mengetahui apakah femidom itu
7 dari 10 responden menggunakan
kondom karena lebih takut kehamilan daripada ketularan penyakit
8 dari 10 responden lebih memilih
kondom lelaki daripada kondom perempuan
Pendapat umum responden
tentang femidom adalah sama: sejenis barang langka yang mungkin sudah punah
sebelum beredar. Namun di sisi lain para
responden perempuan berumahtangga umumnya menyatakan bersedia mencoba femidom
jika memang tersedia barangnya.
Itulah alasan
mengapa saya akhirnya mengunjungi beberapa drugstore dan apotek di kota saya
tinggal (Bogor) dalam rangka mencari tahu apakah memang kondom perempuan sulit
dicari. Kunjungan ke lima gerai berbeda
dan hasilnya sama: nihil. Mayoritas
menyarankan saya membeli pelumas dan atau ring penggetar saja. Plus saya mendapat tatapan aneh dan sungkan dari
para pramuniaga (tentu saja seorang lelaki brewokan mencari-cari kondom
perempuan adalah hal yang ‘anti mainstream’ alias di luar kebiasaan).
Yang menarik
adalah adanya pemikiran bahwa kondom itu murni tanggung jawab lelaki, karena
perempuan sudah direpotkan oleh alat kontrasepsi semacam pil, suntik, implant,
dan IUD. Jadi tak perlu lagi kondom
perempuan.
Padahal mungkin
impian dokter Lasse Hessel asal Denmark (yang mencetuskan penemuan kondom
perempuan pada tahun 1980an) adalah murni memberi kendali pada perempuan atas
tubuhnya sendiri. Femidom dapat dipakai
beberapa jam sebelum berhubungan. Hal
ini penting untuk perlindungan diri (apalagi mengingat pergaulan beresiko
dimana pengaruh alkohol atau narkoba dapat mengakibatkan kelalaian pemakaian
kondom lelaki).
Harap diingat
bahwa kondom perempuan ini sama sekali bukan untuk menggantikan fungsi kondom
lelaki atau alat kontrasepsi lainnya, namun justru menjadi penjaga tambahan
dalam mencegah penyebaran penyakit menular seksual termasuk HIV.
Meskipun sampai
detik ini saya belum mendapatkan sampel femidom di tangan saya, namun saya
yakin bahwa barang itu ada di suatu tempat/di tangan yang tepat.
Kunjungan saya yang
terakhir ke sebuah apotek ternama cukup berkesan. Pramuniaga yang melayani saya tampak lebih
cerdas karena ia memahami makna alat kontrasepsi. “Tidak ada femidom, Mas. Kenapa bukan Mas saja yang pakai kondom?”
Saya senang karena
ia tidak menyarankan saya untuk membeli pelumas apalagi ring penggetar, padahal
benda-benda itu terpajang manis di rak sebelah kami. Terbukti pramuniaga ini tidak sekedar
‘jualan’ semata.
“Ini buat bahan
tulisan, Mbak,” ujar saya tersenyum.
“Maaf, mungkin di
tempat lain ada, Mas.”
“Kira-kira apa perlu resep dokter untuk
membelinya?” tanya saya sebelum berlalu.
Ganti si mbak yang
tersenyum. “Seharusnya tidak. Sebagai alat kontrasepsi, kondom lelaki saja
dijual bebas, kenapa kondom perempuan dibedakan?”
Good point. Saya suka.
3.1.13
SINGGAH Naik Cetak
Akhirnya antologi cerpen karya saya dan teman-teman masuk ke percetakan juga. Awal saya terlibat adalah karena ajakan neng Jia, salah seorang kawan yang kebetulan terlibat sebagai editor (sebelum akhirnya beralih ke mbak Siska). Percaya atau tidak, ini adalah karya cerpen perdana saya (padahal sebelumnya paling susah menyelesaikan karya fiksi karena terbiasa menulis jurnal perjalanan).
Singgah adalah kumpulan cerita tentang pertemuan dan perpisahan. Adalah tempat persinggahan (bandara, pelabuhan, stasiun, hingga terminal) yang menjadi latar belakang kisah, dimana ada ramai namun juga ada sepi, ada suka ada duka, atau ada pula tanya tak terjawab. Cerpen yang saya tulis berjudul 'Dermaga Semesta' yang sedikit banyak terinspirasi dari pengalaman saya bertemu seekor anjing kampung kurus di dermaga pulau Bira Besar, Kep. Seribu. Lantas apa hubungannya anjing kampung dengan 'Dermaga Semesta'? Nantikan saja kisahnya :)
Semoga proses percetakan buku ini lancar dan Singgah sudah bisa terbit bulan depan. Doakan kami, kawan!
^^
Subscribe to:
Posts (Atom)