7.1.13

The Quest Of Femidom


            Perempuan itu termangu begitu saya bertanya, “Mbak, apa disini jual femidom?”

            Drugstore yang saya datangi ini sungguhlah mentereng dengan pencahayaan maksimal sehingga saya bisa melihat kilasan ragu di mata si pramuniaga.  Ada jeda sebelum jawab.  “Adanya fungiderm, Mas.”

            Akhirnya, sambil menahan senyum, saya jelaskan padanya bahwa femidom adalah ‘kondom untuk perempuan’.  Si mbak pun (dengan mulut membentuk huruf o kecil) kemudian menugaskan salah satu rekannya yang langsung memandu saya menuju deretan rak yang penuh oleh produk kondom beragam merk.  "Biasanya ada merk impor, Mas."

            Tapi ternyata tiada penampakan barang yang dimaksud.
            
            “Kalau begitu pakai pelumas atau ring penggetar saja, Mas,” usul si mbak.
            
             Sungguh disayangkan jika ada pemikiran bahwa kondom itu hanya sebagai alat bantu seksual yang bisa digantikan oleh pelumas atau ring penggetar, dan bukannya sebagai alat kontrasepsi (apalagi sebagai pencegah penyakit menular seksual).  Saya hampir saja mau bilang: 'saya prihatin'.

            “Kondom perempuan kemasannya seperti apa, Mbak?” tanya saya kemudian sambil memindai seisi rak dengan seksama.  “Biasanya kisaran harganya berapa?”

            Mbak itu tampak tak tertarik lagi dengan pertanyaan saya.   “Sebentar, Mas...”  Ia pun berlalu dan tak muncul kembali.  Saya coba tunggu beberapa lama, namun dirinya tak berpaling lagi pada saya.   Mungkin dipikirnya saya cuma main-main.


            Saya serius ingin tahu.

            Awalnya adalah momen Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember 2012 lalu, pada saat pencanangan Pekan Kondom Nasional untuk keenam kalinya oleh DKT Indonesia bersama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN).    Pekan Kondom Nasional 2012 beragendakan antara lain konser musik, edukasi HIV/AIDS di 12 kota besar, penyediaan kondom dan lubrikan di sebuah klinik di Bali, hingga lomba foto dan menulis bagi blogger dan jurnalis.

            DKT Indonesia sendiri adalah sebuah perusahaan sosial marketing yang bergerak dalam bidang perencanaan keluarga dan pencegahan HIV/AIDS.  Berdiri di Indonesia sejak 1996, DKT sudah mendistribusikan lebih dari 1 milyar kondom.

            Fakta tersebut sempat membuat saya terperangah.  Pemakaian kondom yang tepat dapat menangkal penularan HIV secara efektif hingga lebih dari 95%.  Dan semilyar lebih penyebaran kondom bukanlah hal yang remeh temeh, karena pastinya sudah banyak membantu dalam hal pencegahan penularan penyakit menular seksual khususnya HIV/AIDS.

            Bayangkanlah seperti film animasi, dimana kondom-kondom sebanyak itu tersebar di udara dan berjatuhan di seluruh pelosok negeri.  Hujan latex dalam kemasan.  Keemasan.  Kemudian saya menyadari sesuatu.  Saya kesulitan membayangkan bentuk kemasan dari kondom perempuan.  Hal ini mengganggu saya.

            Sampailah saya pada kesadaran bahwa selama ini tiada pernah memperhatikan atau menyadari keberadaan alat kontrasepsi yang satu itu.  Bahkan sepertinya kata ‘femidom’ tak pernah muncul dalam kosakata pergaulan saya dengan teman-teman.

            Jujur baru kali ini saya peduli untuk mengetikkan kata ‘femidom’ atau ‘female condom’ pada kolom pencarian di internet.  Keajaiban dunia maya sungguh tanpa batas.  Akhirnya bertemulah saya dengan femidom (thanks to Youtube).  Ternyata kondom perempuan ini panjangnya hampir sama dengan kondom lelaki, hanya saja lebih lebar dengan ring lunak di kedua ujungnya.  Cara pemasangannya pun cukup mudah (jika dilihat dari video peraga, silakan cari sendiri).

            Ada banyak kelebihan femidom yang dipaparkan.  Antara lain bebas alergi & iritasi, tidak mudah bocor, dan dapat mengurangi rasa sakit akibat ‘kekeringan vagina’ (khususnya bagi yang mengalami menopause).  Femidom dapat  mencegah terjadinya ‘interupsi’ pada saat memulai hubungan intim (karena sang lelaki harus memasang dulu kondomnya).   Kelebihan lain adalah pengamanan ekstra dari ring luar femidom yang mampu melindungi area luar kelamin wanita dari gesekan pangkal penis (dimana area inilah yang paling rentan kemasukan kuman/virus).

            Lalu dari sekian banyak keunggulan tadi, mengapa kondom perempuan seperti tak terdengar kiprahnya di Indonesia?

            Karena keterbatasan dana dan waktu, saya pun mengambil sampel acak dari kalangan teman sendiri (kebetulan semuanya adalah penggiat social media pengguna Apple atau Android, yang sedikit banyak mengindikasikan latar belakang ekonomi dan pendidikan).  Adapun hasil yang didapat adalah sbb:
     
     3 dari 10 responden tidak mengetahui apakah femidom itu
     7 dari 10 responden menggunakan kondom karena lebih takut kehamilan daripada ketularan penyakit
     8 dari 10 responden lebih memilih kondom lelaki daripada kondom perempuan

            Pendapat umum responden tentang femidom adalah sama: sejenis barang langka yang mungkin sudah punah sebelum beredar.  Namun di sisi lain para responden perempuan berumahtangga umumnya menyatakan bersedia mencoba femidom jika memang tersedia barangnya.

            Itulah alasan mengapa saya akhirnya mengunjungi beberapa drugstore dan apotek di kota saya tinggal (Bogor) dalam rangka mencari tahu apakah memang kondom perempuan sulit dicari.  Kunjungan ke lima gerai berbeda dan hasilnya sama: nihil.  Mayoritas menyarankan saya membeli pelumas dan atau ring penggetar saja.  Plus saya mendapat tatapan aneh dan sungkan dari para pramuniaga (tentu saja seorang lelaki brewokan mencari-cari kondom perempuan adalah hal yang ‘anti mainstream’ alias di luar kebiasaan).

            Yang menarik adalah adanya pemikiran bahwa kondom itu murni tanggung jawab lelaki, karena perempuan sudah direpotkan oleh alat kontrasepsi semacam pil, suntik, implant, dan IUD.  Jadi tak perlu lagi kondom perempuan.

            Padahal mungkin impian dokter Lasse Hessel asal Denmark (yang mencetuskan penemuan kondom perempuan pada tahun 1980an) adalah murni memberi kendali pada perempuan atas tubuhnya sendiri.  Femidom dapat dipakai beberapa jam sebelum berhubungan.  Hal ini penting untuk perlindungan diri (apalagi mengingat pergaulan beresiko dimana pengaruh alkohol atau narkoba dapat mengakibatkan kelalaian pemakaian kondom lelaki).

           Harap diingat bahwa kondom perempuan ini sama sekali bukan untuk menggantikan fungsi kondom lelaki atau alat kontrasepsi lainnya, namun justru menjadi penjaga tambahan dalam mencegah penyebaran penyakit menular seksual termasuk HIV.

            Meskipun sampai detik ini saya belum mendapatkan sampel femidom di tangan saya, namun saya yakin bahwa barang itu ada di suatu tempat/di tangan yang tepat.


            Kunjungan saya yang terakhir ke sebuah apotek ternama cukup berkesan.  Pramuniaga yang melayani saya tampak lebih cerdas karena ia memahami makna alat kontrasepsi.  “Tidak ada femidom, Mas.  Kenapa bukan Mas saja yang pakai kondom?”

            Saya senang karena ia tidak menyarankan saya untuk membeli pelumas apalagi ring penggetar, padahal benda-benda itu terpajang manis di rak sebelah kami.  Terbukti pramuniaga ini tidak sekedar ‘jualan’ semata.

            “Ini buat bahan tulisan, Mbak,” ujar saya tersenyum. 

            “Maaf, mungkin di tempat lain ada, Mas.”

            “Kira-kira apa perlu resep dokter untuk membelinya?” tanya saya sebelum berlalu.

            Ganti si mbak yang tersenyum.  “Seharusnya tidak.  Sebagai alat kontrasepsi, kondom lelaki saja dijual bebas, kenapa kondom perempuan dibedakan?”

            Good point.  Saya suka.


No comments:

Post a Comment