Perempuan
itu termangu begitu saya bertanya, “Mbak, apa disini jual femidom?”
Drugstore yang saya datangi ini sungguhlah mentereng dengan pencahayaan maksimal
sehingga saya bisa melihat kilasan ragu di mata si pramuniaga. Ada jeda sebelum jawab. “Adanya fungiderm, Mas.”
Akhirnya, sambil
menahan senyum, saya jelaskan padanya bahwa femidom adalah ‘kondom untuk
perempuan’. Si mbak pun (dengan mulut
membentuk huruf o kecil) kemudian menugaskan salah satu rekannya yang langsung memandu saya menuju deretan rak yang penuh
oleh produk kondom beragam merk. "Biasanya ada merk impor, Mas."
Tapi ternyata tiada
penampakan barang yang dimaksud.
“Kalau begitu pakai
pelumas atau ring penggetar saja, Mas,” usul si mbak.
Sungguh disayangkan jika ada pemikiran bahwa kondom itu hanya sebagai alat bantu seksual yang bisa
digantikan oleh pelumas atau ring penggetar, dan bukannya sebagai alat
kontrasepsi (apalagi sebagai pencegah penyakit menular seksual). Saya hampir saja mau bilang: 'saya prihatin'.
“Kondom perempuan
kemasannya seperti apa, Mbak?” tanya saya kemudian sambil memindai seisi rak
dengan seksama. “Biasanya kisaran harganya berapa?”
Mbak itu tampak tak
tertarik lagi dengan pertanyaan saya.
“Sebentar, Mas...” Ia pun berlalu
dan tak muncul kembali. Saya coba tunggu
beberapa lama, namun dirinya tak berpaling lagi pada saya. Mungkin dipikirnya saya cuma main-main.
Saya serius ingin
tahu.
Awalnya adalah
momen Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember 2012 lalu, pada saat
pencanangan Pekan Kondom Nasional untuk keenam kalinya oleh DKT Indonesia bersama
dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Pekan Kondom Nasional 2012 beragendakan antara lain konser musik, edukasi HIV/AIDS di 12 kota besar,
penyediaan kondom dan lubrikan di sebuah klinik di Bali, hingga lomba foto dan
menulis bagi blogger dan jurnalis.
DKT Indonesia sendiri adalah sebuah
perusahaan sosial marketing yang bergerak dalam bidang perencanaan keluarga dan
pencegahan HIV/AIDS. Berdiri di Indonesia
sejak 1996, DKT sudah mendistribusikan lebih dari 1 milyar kondom.
Fakta tersebut sempat
membuat saya terperangah. Pemakaian
kondom yang tepat dapat menangkal penularan HIV secara efektif hingga lebih
dari 95%. Dan semilyar lebih penyebaran kondom
bukanlah hal yang remeh temeh, karena pastinya sudah banyak membantu dalam hal
pencegahan penularan penyakit menular seksual khususnya HIV/AIDS.
Bayangkanlah seperti film
animasi, dimana kondom-kondom sebanyak itu tersebar di udara dan berjatuhan di
seluruh pelosok negeri. Hujan latex
dalam kemasan. Keemasan. Kemudian saya menyadari sesuatu. Saya kesulitan membayangkan bentuk kemasan
dari kondom perempuan. Hal ini mengganggu saya.
Sampailah saya pada
kesadaran bahwa selama ini tiada pernah memperhatikan atau menyadari
keberadaan alat kontrasepsi yang satu itu.
Bahkan sepertinya kata ‘femidom’ tak pernah muncul dalam kosakata
pergaulan saya dengan teman-teman.
Jujur baru kali
ini saya peduli untuk mengetikkan kata ‘femidom’ atau ‘female condom’ pada
kolom pencarian di internet. Keajaiban
dunia maya sungguh tanpa batas. Akhirnya
bertemulah saya dengan femidom (thanks to Youtube).
Ternyata kondom perempuan ini panjangnya hampir sama dengan kondom
lelaki, hanya saja lebih lebar dengan ring lunak di kedua ujungnya. Cara pemasangannya pun cukup mudah (jika
dilihat dari video peraga, silakan cari sendiri).
Ada banyak
kelebihan femidom yang dipaparkan. Antara
lain bebas alergi & iritasi, tidak mudah bocor, dan dapat mengurangi rasa
sakit akibat ‘kekeringan vagina’ (khususnya bagi yang mengalami
menopause). Femidom dapat mencegah terjadinya ‘interupsi’ pada saat
memulai hubungan intim (karena sang lelaki harus memasang dulu kondomnya). Kelebihan lain adalah pengamanan ekstra dari
ring luar femidom yang mampu melindungi area luar kelamin wanita dari gesekan
pangkal penis (dimana area inilah yang paling rentan kemasukan kuman/virus).
Lalu dari sekian
banyak keunggulan tadi, mengapa kondom perempuan seperti tak terdengar
kiprahnya di Indonesia?
Karena
keterbatasan dana dan waktu, saya pun mengambil sampel acak dari kalangan teman
sendiri (kebetulan semuanya adalah penggiat social media pengguna Apple atau
Android, yang sedikit banyak mengindikasikan latar belakang ekonomi dan
pendidikan). Adapun hasil yang didapat
adalah sbb:
3 dari 10 responden tidak
mengetahui apakah femidom itu
7 dari 10 responden menggunakan
kondom karena lebih takut kehamilan daripada ketularan penyakit
8 dari 10 responden lebih memilih
kondom lelaki daripada kondom perempuan
Pendapat umum responden
tentang femidom adalah sama: sejenis barang langka yang mungkin sudah punah
sebelum beredar. Namun di sisi lain para
responden perempuan berumahtangga umumnya menyatakan bersedia mencoba femidom
jika memang tersedia barangnya.
Itulah alasan
mengapa saya akhirnya mengunjungi beberapa drugstore dan apotek di kota saya
tinggal (Bogor) dalam rangka mencari tahu apakah memang kondom perempuan sulit
dicari. Kunjungan ke lima gerai berbeda
dan hasilnya sama: nihil. Mayoritas
menyarankan saya membeli pelumas dan atau ring penggetar saja. Plus saya mendapat tatapan aneh dan sungkan dari
para pramuniaga (tentu saja seorang lelaki brewokan mencari-cari kondom
perempuan adalah hal yang ‘anti mainstream’ alias di luar kebiasaan).
Yang menarik
adalah adanya pemikiran bahwa kondom itu murni tanggung jawab lelaki, karena
perempuan sudah direpotkan oleh alat kontrasepsi semacam pil, suntik, implant,
dan IUD. Jadi tak perlu lagi kondom
perempuan.
Padahal mungkin
impian dokter Lasse Hessel asal Denmark (yang mencetuskan penemuan kondom
perempuan pada tahun 1980an) adalah murni memberi kendali pada perempuan atas
tubuhnya sendiri. Femidom dapat dipakai
beberapa jam sebelum berhubungan. Hal
ini penting untuk perlindungan diri (apalagi mengingat pergaulan beresiko
dimana pengaruh alkohol atau narkoba dapat mengakibatkan kelalaian pemakaian
kondom lelaki).
Harap diingat
bahwa kondom perempuan ini sama sekali bukan untuk menggantikan fungsi kondom
lelaki atau alat kontrasepsi lainnya, namun justru menjadi penjaga tambahan
dalam mencegah penyebaran penyakit menular seksual termasuk HIV.
Meskipun sampai
detik ini saya belum mendapatkan sampel femidom di tangan saya, namun saya
yakin bahwa barang itu ada di suatu tempat/di tangan yang tepat.
Kunjungan saya yang
terakhir ke sebuah apotek ternama cukup berkesan. Pramuniaga yang melayani saya tampak lebih
cerdas karena ia memahami makna alat kontrasepsi. “Tidak ada femidom, Mas. Kenapa bukan Mas saja yang pakai kondom?”
Saya senang karena
ia tidak menyarankan saya untuk membeli pelumas apalagi ring penggetar, padahal
benda-benda itu terpajang manis di rak sebelah kami. Terbukti pramuniaga ini tidak sekedar
‘jualan’ semata.
“Ini buat bahan
tulisan, Mbak,” ujar saya tersenyum.
“Maaf, mungkin di
tempat lain ada, Mas.”
“Kira-kira apa perlu resep dokter untuk
membelinya?” tanya saya sebelum berlalu.
Ganti si mbak yang
tersenyum. “Seharusnya tidak. Sebagai alat kontrasepsi, kondom lelaki saja
dijual bebas, kenapa kondom perempuan dibedakan?”
Good point. Saya suka.
No comments:
Post a Comment