31.1.13

One Life To Live

Pandanglah segelas air di hadapan.  Apakah yang terlintas dalam benak?  Adakah yang terbersit walau sekilas, ataukah cuma hampa saja?

Sejak kecil saya sudah tertarik dengan sejarah suatu benda, bahkan termasuk asal muasal air yang saya minum.   Tatkala saya haus dan kemudian ibu menuangkan air dalam gelas, maka saya akan bertanya darimana air minum berasal.  Ibu akan bilang kalau air minum ini berasal dari air sumur yang sudah dimasak.  Air sumur datang darimana, tanya saya lagi.  Dari dalam tanah, kata ibu.  Sebelum saya menjadi terlalu cerewet kemudian beliau melanjutkan penjelasannya.  Bahwasanya air dalam tanah berasal dari hujan.  Dan hujan berasal dari awan.  Awan berasal dari penguapan air di bumi.  Uap air berasal dari lautan, sungai, pepohonan, dll.  Dan seterusnya, dan seterusnya, dimana kelak saya menyadari bahwa itulah pemahaman dasar mengenai siklus air.

Tetapi sebenarnya bukan sekedar siklus air tadi yang menjadi kepenasaranan saya.  Beranjak dewasa, ketertarikan saya akan sejarah suatu benda ternyata lebih terdefinisi.  Saya lebih tertarik mencari tahu pengalaman atau experience suatu benda ketimbang asal muasalnya.

Siklus air adalah lingkaran yang tak putus.  Seperti kita tahu, lingkaran tak mempunyai ujung awal ataupun akhir.  Konstan.  Air adalah konstanta yang sudah ada jauh sebelum cikal bakal kehidupan di bumi terbentuk.  Selama berjuta tahun sudah air bergerak dalam siklusnya.  Ia memberkati bumi dengan curah hujan.  Lalu menghidupinya dengan nutrisi.  Ia mengalami penyulingan lewat proses penguapan atau evaporasi.  Demikian terus berulang dalam volume yang relatif sama.  Dengan kata lain, air yang kita minum sekarang adalah air yang sama dengan yang sudah ada sejak awal penciptaan.  Tidakkah hal itu menakjubkan?

Fakta inilah yang menggairahkan saya.  Air adalah saksi kehidupan di bumi.

Tataplah segelas air di hadapan.  Benak anda kini pasti membayangkan pengembaraan sang air.  Sudah seberapa jauh ia berkelana dari masa ke masa?  Sudahkah ia turun di seluruh pelosok bumi?  Siapa sajakah legenda dunia yang pernah ia sapa dalam rinainya--ia basuh dalam basahnya--ia segarkan dalam teguknya?  Adakah ia menyimpan ingatan zaman purba dalam molekul-molekulnya?
 

Kemudian dari sebuah selebaran di kedai vegetarian, saya mengenal pula istilah water footprint alias jejak air.  Water footprint kadang disebut pula virtual water, ialah jumlah air yang digunakan dalam keseluruhan produksi dan/atau pertumbuhan suatu produk.  Sebagai contoh, 1 kg daging sapi mempunyai jejak air sebanyak 16 ribu liter.  Jumlah air sebanyak itulah yang telah digunakan untuk membesarkan, merawat, memberi makan si sapi hingga akhirnya dikirim ke rumah jagal untuk dijadikan daging siap santap seberat 1 kg.  Padahal seekor sapi utuh bisa menghasilkan daging hingga ratusan kg.  Jadi hitung sendiri berapa total jejak air yang dibutuhkan (belum ditambah dengan jejak karbon yang dilepaskan di udara).
 

Selebaran yang saya baca ini sungguh menyampaikan informasinya secara cerdas bernas.  Tujuannya tidak memprovokasi orang supaya beralih menjadi vegetarian, namun lebih mengusik kesadaran pembaca untuk bertindak lebih bijak.  Makanlah dalam porsi cukup agar tiada yang tersisa, supaya jejak air yang ada dalam makanan itu pun tak terbuang sia-sia.  Tahukah anda,  bahkan selembar selebaran yang saya baca ini mempunyai jejak air sebanyak 10 liter.

Saya kemudian menyesap secangkir teh yang sudah dipesan.  Secangkir teh mempunyai jejak air sebanyak 35 liter.  Saya ambil ponsel lalu menyebarkan info ini lewat kicauan dunia maya.  Microchip dalam ponsel saya mempunyai jejak air sebanyak 32 liter.
 

Selembar selebaran di kedai vegetarian tsb membukakan mata saya yang selama ini abai.  Bahwa air adalah penunjang unsur kehidupan, ia mematri jejaknya dalam berbagai unsur bahkan hingga ke benda padat dan mungil seperti microchip sekalipun.
 

Mari kembali pada segelas air di hadapan.  Sudah bersyukurkah anda hari ini?  97.5% total volume air bumi terdapat di lautan, sisanya yang berupa air segar tersembunyi dalam lapisan es, dalam endapan tanah, dan cuma sekitar 0,1% saja air segar yang bisa diakses manusia secara langsung.

Tak heran jika masih terdapat kurang lebih 1 milyar manusia yang tak punya akses air minum bersih.  Jarak berkilometer harus ditempuh demi mendatangi sumber air.  Itu pun tak selamanya yang tersedia adalah air bersih karena terkadang sudah bercampur lumpur atau kotoran.

Pernah semasa sekolah dan tengah dalam pelantikan pasukan paskibra, saya dan teman-teman digembleng berjam-jam di bawah terik matahari.  Usai pelatihan, kelelahan dan kehausan, kami disuruh tetap berdiri dalam barisan, lalu sang pembina memberi kami sebotol air minum yang harus dibagi beramai-ramai untuk seluruh regu.  Sebotol air minum ukuran sedang harus habis dibagi kepada puluhan mulut yang dahaga.  Ini bukan tentang penyiksaan, namun tentang berbagi.  Bergantian, satu persatu kami pun mewadahi air dengan tutup botol.

Hanya seteguk kecil yang mengaliri tenggorokan.  Namun terdapat perbedaan besar bagi tubuh kaku dan mulut kelu.  Kami ingin tegukan berikutnya, lagi dan lagi.  Mungkin di bawah sadar, kami tak ingin mati kehausan.  Tahukah anda bahwa manusia bisa bertahan hidup tanpa makanan hingga sebulan lamanya, namun hanya bisa bertahan hidup tanpa air selama 5-7 hari saja?  Namun masih ada beban yang harus ditanggung bersama oleh kami saat itu.  Belum pernah seumur hidup saya memandangi botol minum itu berpindah tangan dari satu ke yang lain dengan penuh kesyahduan.

Akhirnya anggota regu terakhir berhasil mendapatkan jatahnya.  Seteguk kecil penghabisan.  Dan ia pun menangis.  Bagai merambat cepat, isak haru mulai bermunculan.

Prosesi selesai, dan barisan dibubarkan.  Masing-masing kami mendapat jatah air minum segar yang sebenarnya.  Berlimpah.  Rindu kami padamu, wahai air!

Saya pun mungkin menangis.  Entahlah.

Air adalah penghargaan hidup, dan kami sungguh menghargai keberadaannya sejak itu.  Kami tahu masih banyak saudara-saudara kecil di berbagai pelosok negeri dan bumi yang masih kesulitan mendapatkan air bersih.  Mereka berkorban waktu sekian jam setiap hari hanya demi perjuangan mendapatkan air yang bahkan tak layak minum.  Waktu sekian jam terbuang percuma yang seharusnya bisa dimanfaatkan mereka untuk bermain, belajar, dan beristirahat.  Waktu sekian jam yang terbuang seharusnyalah digunakan mereka untuk menikmati hidup.

Segelas air di hadapan anda adalah berkah Tuhan yang paling besar.

Beruntung masih banyak manusia & lembaga yang peduli akan krisis air bersih ini.  Bantuan layanan sosial diberikan, seperti pembuatan pompa air hingga layanan pendidikan/edukasi tentang air bersih bagi penduduk di daerah terpencil.  Adalah tanggung jawab bersama pula untuk menggunakan air bersih secara lebih bijak dan bertanggung jawab.

Air adalah kehidupan itu sendiri.







rujukan data:
www.aqua.com
www.abc.net.au/water
www.unwater.org

No comments:

Post a Comment